06/05/2016

Mustafa Kemal Attaturk
Pendahuluan
Keberhasilan mengubah bentuk negara Turki dari dinasti (kesultanan atau kekhalifahan) menjadi republik menjadi kemenangan awal yang sangat menyolok dari gerakan politik Mustafa Kemal. Tidak ada seorang pun dari kalangan kelompok pembaru, baik dari Usmani Muda maupun Turki Muda yang pernah mengajukan konsep pendirian Republik Turki sebagaimana yang diajukan oleh Mustafa Kemal. Ketika Turki diproklamirkan sebagai negara republik, kondisi ini (secara tidak langsung) telah mengakhiri kekuasaan tunggal Sultan. Bahkan, setahun kemudian lembaga kekhalifahan yang sebelumnya terpisah dari kesultanan, juga turut dihapuskan mengingat isu yang berkembang di masyarakat Turki bahwa telah terjadi dualisme kepemimpinan.

Mustafa Kemal yang bergelar Pasya dan kemudian mendapat gelar “Ataturk” (Bapak Turki) adalah sang arsitek berdirinya negara Republik Turki. Keberhasilan gerakan politiknya ketika ia memobilisir massa Turki untuk berjuang melawan pendudukan asing melalui Gerakan Perjuangan Hak-hak Anatolia dan Rumania (Defense of Raight of Anatolia and Rumania), mendirikan Majelis Nasional Agung (Grand National Assembly) serta memberlakukan konstitusi baru, menjadi kemenangan awal yang sangat menyolok dan mengantarkannya menjadi pemimpin dan juru bicara gerakan nasionalisme Turki (http://www.fib.ui.ac.id/artikel.fib./2005/05/16/op.html/top).

Makalah ini akan mengulas secara singkat namun jelas gerakan nasionalisme Turki oleh Mustafa Kemal Ataturk, khususnya sejak tahun 1920 sampai dengan tahun 1938. Yaitu, suatu upaya pembaruan negara Turki yang dilakukan oleh Mustafa Kemal Ataturk pasca Kekhalifahan Turki Usmani, prinsip pemikiran serta gerakannya dalam membentuk negara Turki, yang diketahui merupakan sintesa dari pemikiran-pemikiran pembaruan yang telah dikemukakan sebelumnya pada era Usmani Muda dan Turki Muda.

Biografi Singkat Mustafa Kemal Ataturk
Syafiq A. Mughni (1997:145) didalam bukunya menyatakan bahwa Mustafa Kemal lahir di Salonika pada tahun 1881. Ia dilahirkan dari orang tuanya yang bernama Ali Riza, yaitu seorang pegawai biasa di ­salah satu kantor pemerintah di kota Salonika, sedangkan ibunya bernama Zubayde (atau, Zubaida Hanim), seorang wanita yang amat dalam perasaan keagamaannya. Harun Nasution (1994:143) menyebutkan bahwa Ali Riza, ayah Mustafa Kemal, meninggal dunia saat Mustafa Kemal berusia tujuh tahun. Selanjutnya, ia kemudian diasuh oleh ibunya.

Syafiq A. Mughni (1997:145) juga menyebutkan bahwa riwayat pendidikan Mustafa Kemal dimulai sejak tahun 1893 ketika ia memasuki sekolah Rushdiye (yaitu sekolah menengah militer Turki). Kemudian, pada tahun 1895 ia masuk ke akademi militer di kota Monastir. Pendidikan Mustafa Kemal dilanjutkan pada 13 Maret 1899, dimana ketika itu ia masuk ke sekolah ilmu militer di Istambul sebagai kadet pasukan infanteri. Bahkan, pada tahun 1902 ia ditunjuk menjadi salah satu staf pengajar di sekolah itu. Pada bulan Januari 1905 ia kemudian berhasil menamatkan pendidikannya dan lulus dengan pangkat Kapten dan bergelar Pasya.

Dilatarbelakangi oleh Perang Dunia I pada tahun 1918, dimana Imperium Turki Usmani mengalami masa kemuduran yang sangat menyedihkan. Bahkan, satu persatu wilayah kekuasaan yang jauh dari pusat pemerintahan membebaskan diri dari kekuasaan Turki Usmani. Dan, lebih buruk lagi, negara-negara sekutu berupaya membagi-bagi wilayah kekuasaan Turki untuk dijadikan negara koloni mereka. Kondisi porak porandanya Imperium Turki Usmani inilah yang kemudian menumbuhkan semangat nasionalisme pada generasi muda Turki ketika itu, termasuk pada diri Mustafa Kemal Pasya. Pemikiran tentang identitas bangsa dan pentingnya suatu negara nasionalis menjadi wacana yang banyak diperdebatkan.

Mustafa Kemal Pasya yang kemudian bergelar “Ataturk” adalah tokoh penggerak revolusi Turki. Gelar “Ataturk” itu sendiri adalah nama keluarga yang digunakan oleh Mustafa Kemal Pasya setelah Pemberlakuan Undang-Undang Hukum Sipil di Turki pada tahun 1935 yang mengharuskan setiap orang Turki menggunakan nama kecil sebagaimana yang berlaku pada pola nama Barat (Ira M. Lapidus, 1999:91). Selain itu, gelar “Ataturk” juga berarti “Bapak Turki”. Gerakan nasionalisme Turki yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Ataturk merupakan leburan dari berbagai kelompok gerakan kemerdekaan di Turki, yang semula bertujuan untuk mempertahankan kemerdekaan Turki kemudian pada perkembangan selanjutnya diarahkan untuk menentang legitimasi kekuasaan Sultan. Mustafa Kemal Ataturk mendirikan Negara Republik Turki di atas reruntuhan Kekhalifahan Turki Usmani dengan prinsip sekularisme, westernisme dan nasionalisme. Meskipun Mustafa Kemal Ataturk bukanlah yang pertama kali memperkenalkan ide-ide tersebut di Turki. Ia banyak mendapat inspirasi dari pemikiran Ziya Gokalp dan Abdullah Jewdet. Ziya Gokalp sendiri adalah seorang Sosiolog Turki yang diakui sebagai Bapak Nasionalisme Turki. Pemikiran Ziya Gokalp yang merupakan sintesa antara tiga unsur, yaitu: ke-Turki-an, Islam dan Modernisasi, inilah yang pada giliran berikutnya membentuk karakter bangsa Turki, yang diperjuangkan oleh Mustafa Kemal Ataturk, dengan sedikit perbedaan tentunya, terkhusus pada akses Islam yang menjadi kultur Bangsa Turki.

Gerakan Nasionalisme Mustafa Kemal Ataturk
Mengulas tokoh Mustafa Kemal Ataturk tentunya tidak dapat dipisahkan dari sejarah terbentuknya negara Turki modern. Negara Turki yang pada awalnya adalah sebuah Imperium Islam dengan Sultan sebagai kepala negara dan simbol Khalifah sebagai legitimasi kekuasaannya, akhirnya runtuh sejak tahun 1924. Bahkan, setahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1923, sistem pemerintahan negara Turki Usmani yang berbentuk kerajaan di bawah kepemimpinan Sultan Abd al-Hamid III telah dihapuskan. Perubahan sistem kenegaraan Turki Usmani pada tahun 1923 inilah yang telah mengantarkan Mustafa Kemal Ataturk ke puncak karir politiknya yang ditandai dengan pengangkatannya sebagai Presiden Republik Turki sepanjang hidup.

Mustafa Kemal Ataturk melalui gerakan politiknya sejak diangkat menjadi Presiden Republik Turki terkenal dengan stereotip rezim diktator. Kontroversi ide kebangsaan dengan revolusi identitas kultural masyarakat Turki yang dijalankan oleh rezim Mustafa Kemal Ataturk telah menjauhkan budaya Islam yang telah mengakar kuat dan melembaga di tengah-tengah masyarakat muslim Turki. Bagi sebagian kalangan konservatif, rezim Mustafa Kemal Ataturk dianggap telah mencerabut akar dogmatisme Islam dari masyarakat muslim Turki.

Pengaruh Usmani Muda dan Turki Muda
Gerakan nasionalisme Turki oleh Mustafa Kemal Ataturk banyak dipengaruhi oleh pemikiran pembaruan era Usmani Muda dan Turki Muda. Menurut Ira M. Lapidus (1999:77-78) pada era Usmani Muda, tokoh-tokoh seperti Namik Kemal (1840-1888), Ibrahim Shinasi (1826-1817), dan Ziya Pasha (1825-1880), meskipun di satu sisi mereka berkomitmen terhadap kontinuitas imperium Usmani, namun mereka tercondong kepada pembentukan sebuah negara konstitusional. Mereka meyakini bahwasanya nilai-nilai luhur Imperium Usmani harus diukur melalui kontribusinya terhadap hak-hak asasi warganya, kontribusinya terhadap perlindungan hak hidup dan hak milik, terhadap keadilan, dan sikap kebijakan yang dapat memuaskan pihak warga Muslim dan non-Muslim. Mereka juga menekankan aspek-aspek warisan Islam yang mendorong pembelajaran ilmu pengetahuan dan pengajaran teknik, nilai-nilai rasional daripada keimanan secara buta, dan pentingnya perjuangan aktif demi perbaikan individu dan sosial. Bahkan, para tokoh Usmani Muda juga menyokong penggunaan Bahasa Turki untuk menjembatani jarak antara elit Usmani dengan sebagian besar warganya.

Persepsi kalangan Usmani Muda terhadap kalangan Turki Muda, yaitu kelompok ini tetap mempertahankan persekutuan dengan Imperium Usmani namun mereka juga melakukan serangkaian agitasi guna merestorasi sebuah rezim parlementer dan konstitusional. Secara internal, kekuatan Turki Muda terbagi kepada kelompok Ahmad Riza yang menghendaki seorang Sultan yang kuat, yang mengutamakan unsur-unsur Muslim-Turki dari warga Usmani; dan kelompok yang dipimpin oleh Sultan Sabaheddin yang menekankan bentuk-bentuk desentralisasi Pemerintahan Usmani, dan menghendaki sebuah masyarakat federasi dengan pemberian otonomi bagi warga Kristen dan warga minoritas lainnya (Ira M. Lapidus, 1999:79-80).

Pada dasarnya antara kelompok Usmani Muda dan kelompok Turki Muda memiliki kesamaan visi berupa pembaruan Imperium Turki Usmani dengan tetap mempertahankan kontinuitas kekuasaan Sultan. Meskipun, pemikiran pembaruan tersebut cenderung diarahkan kepada penguatan kapasitas masyarakat Turki. Kedua kelompok di era yang berbeda itu melihat bahwa Imperium Turki Usmani yang mulai melemah harus memiliki identitas baru yang lebih rasional dengan tuntutan situasi sosial dan politik yang berkembang. Kenyataan bahwa Pemerintahan Imperium Turki Usmani yang tidak efektif serta serangkaian kekalahan yang diderita oleh Imperium Turki Usmani dari kekuatan Eropa, tidak dapat dinafikan. Sehingga perlu dilakukan pembaruan didalam sistem Pemerintahan Turki Usmani.

Pengaruh Ziya Gokalp dan Abdullah Jawdet
Di samping kedua kelompok elite di atas, pemikiran pembaruan Mustafa Kemal Ataturk juga banyak dipengaruhi oleh Ziya Gokalp (1875-1924) dan Abdullah Jewdet (1869-1932). Ziya Gokalp meresmikan identitas kultural rakyat Turki dan menyerukan reformasi Islam untuk menjadikan Islam sebagai ekspresi dari etos Turki. Sedangkan Abdullah Jewdet menyampaikan landasan nasionalisme Turki. Gagasan kebangsaan tersebut memperkuat kecenderungan terhadap sekularisme dan modernitas (Ira M. Lapidus, 1999:82-83).

Mustafa Kemal Ataturk memiliki prinsip pemikiran pembaharuan Turki yang kemudian menjadi corak ideologinya. Prinsip pemikiran pembaharuan Turki itu terdiri dari tiga unsur, yakni : nasionalisme, sekularisme dan westernisme (Tim Redaksi IAIN Syarif Hidayatullah, t.t.:229). Dari ketiga prinsip di atas kemudian melahirkan ideologi kemalisme, yakni : republikanisme, nasionalisme, kerakyat­an, sekularisme, etatisme, dan revolusionisme. Ideologi yang diasosia­sikan dengan figur Mustafa Kemal Ataturk ini kemudian berkembang di Turki dan dikembangkan oleh pengikutnya (Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, t.t.:591).

Gagasan Mustafa Kemal Ataturk terhadap westernisme telah nampak saat pertemuan Majelis Nasional yang dipimpinnya pada 1924, yang mana dalam pidatonya ia melontarkan pernyataan yang intinya ia bertekad menjamin stabilitas Republik Turki, memurnikan serta memperbarui ajaran Islam, dan menciptakan kesatuan sistem pendidikan nasional dengan cara membebaskannya dari politik yang sudah berlaku pada abad sebelumnya. Menurutnya, untuk merealisasikan hal tersebut Turki harus berorientasi ke Barat. Ia melihat bahwa dengan meniru Barat negara akan maju. Sedangkan berkaitan dengan gagasan nasionalisme, Mustafa Kemal Ataturk merancang bahwa Islam yang berkembang di Turki adalah Islam yang telah dipribumikan ke dalam budaya Turki. Sistem kekhalifahan dihapuskan, hukum syariat dihapus, tetapi kembali kepada Alquran dan Hadis, dan menerjemahkan Alquran dengan bahasa Turki. Menurutnya Islam dapat diselaraskan dengan dunia modern. Ataturk berpendapat bahwa turut campurnya Islam dalam segala lapangan kehidupan membawa kemunduran pada bangsa dan agama. Selama Islam masih menjadi agama resmi maka negara akan tetap dalam bahaya. Menurutnya, pemerintahan teokrasi selalu menjadi saudara kembar yang tak dapat dipisahkan dari pemerintahan autokrasi. Atas dasar itu, agama harus dipisahkan dari negara. Islam tidak perlu menghalangi adopsi Turki sepenuhnya terhadap peradaban Barat, karena peradaban Barat bukanlah Kristen, sebagaimana Timur bukanlah Islam. Dengan melancarkan gagasan westernisasi dan penerapan gagasan nasionalisme sebenarnya Ataturk telah memulai proses sekularisasi (Tim Redaksi IAIN Syarif Hidayatullah, t.t.:229).

Sedangkan menyangkut ideologi Kemalisme, dapat diuraikan sebagai berikut (Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, t.t.:591-592):

Republikanisme merupakan ciri awal dari Kemalisme. Keberhasilan mengubah bentuk negara Turki dari dinasti (kesultanan atau kekhalifahan) menjadi republik sebagaimana dicantumkan dalam Konstitusi 1923 adalah kemenangan awal Attaturk yang menyolok. Republikanisme menjadi ciri tersendiri bagi ber­kembangnya pemerintahan yang diidamkan Attaturk.

Nasionalisme Turki berkembang secara kon­krit setelah runtuhnva Kesultanan Usmani. Memang Ziya Gokalp te­lah mengembangkan konsep nasionalisme Turki, tetapi ia tidak menghasilkan ide tumpah darah yang faktual dan konkrit. Di pihak lain, kelompok-kelonipok non-Muslim, khususnya di Balkan dan Yunani, telah lebih dulu mengem­bangkan nasionalisme yang jelas dan praktis. Nasionalisme Turki yang akhirnya berkem­bang meliputi tiga aspek, yakni: historis, kebudayaan dan kemanusiaan. Secara historis perasaan nasionalisme ini berkenaan erat dengan tim­bulnya konsep wilayah Republik Turki yang meliputi kawasan-kawasan Anatolia dan Ru­melia (Thrace). la bukan entitas (wujud) Us­mani atau Turani yang lebih besar. Unsur pen­ting dalam nasionalisme Turki adalah kebu­dayaan. Nasionalisme tersebut bukan dida­sarkan atas ras melainkan kebudayaan, yaitu nasionalisme bagi orang-orang yang berbaha­sa Turki, berbudaya Turki, dan hidup di Turki. Nasionalisme Turki bukanlah menuju kepada chauvinisme. la justru menekankan perda­maian dan persahabatan di antara umat ma­nusia.

Kerakyatan merupakan prinsip baru yang dikumandangkan Ataturk, artinya demokrasi di Turki adalah “pemerintahan rakyat, bersama rakyat, dan untuk rakyat”. Hal ini sangat ber­tentangan dengan konsep sebelumnya yang dianut penguasa Usmani. Istilah re`ayah telah digunakan untuk mengidentifikasikan orang kebanyakan yang mayoritas petani. Pada 1924 Ataturk telah menggunakan istilah khalq (halk) dalam arti rakyat, sebagai ganti “millet” yang berbau keagamaan. “Parlemen ini adalah parlemen rakyat (halk) Turki. Kedudukan dan kekuasaannya dapat menjadi efektif hanya apabila didasarkan kepada kepercayaan rakyat Turki di bumi Turki”, ucapnya di depan sidang parlemen tahun itu. Memang ide populisme (kerakyatan) yang diketengahkan Ataturk menjamin adanya ekualitas, tanpa pengisti­mewaan bagi seluruh lapisan rakyat Turki.

Etatisme sebagai prinsip yang telah lama berkembang di Eropa, khususnya pada abad ke-19 cenderung rnemberikan kekuasaan be­sar terhadap negara untuk mencampuri masalah ekonomi. Konsep etatisme Ataturk ber­beda dengan yang tumbuh di Eropa dalam sa­tu hal, etatisme di Barat berkembang untuk mengurangi ketidakseimbangan pemilikan kekayaan dalam negara, sedangkan di Turki Ataturk menginginkan negara untuk mendatangkan kekayaan. Sebagaimana diumumkan pada 1931 bahwa etatisme di Turki memberikan wewenang penuh kepada negara untuk mengelola tam­bang, hutan, jalan air, kereta api, perusahaan transportasi, bank, dan keperluan umum. Da­lam hal ini jelas negara tidak memonopoli se­mua aktivitas ekonomi, bahkan selaras dengan ide kerakyatan dan nasionalisme individu di­beri kebebasan untuk mengembangkan inte­rest ekonomi mereka. Hanya saja, diusahakan agar ada balance antara ambisi pribadi dan keperluan bersama sebagai satu bangsa. Ka­renanya etatisme diharapkan menjadi katalis dalam inisiatif dan pemerataan ekonomi.

Dalam proses penataan masyarakat dan ne­gara Turki, Attaturk melancarkan politik se­kularisme. Menurut versinya, sekularisme bu­kan saja memisahkan masalah bernegara (le­gislatif, eksekutif dan yudikatif) dari pengaruh agama melainkan juga membatasi peranan agama dalam kehidupan orang Turki sebagai satu bangsa. Sekularisme ini adalah lebih me­rupakan antagonisme terhadap hampir segala apa yang berlaku di masa Usmani. Ataturk sendiri tidak menggunakan kata sekularisme, tetapi lihat sebagian dari ucapannya:

Pe­merintah yang dibentuk oleh Majelis Nasional Turki adalah nasionalis dan materialistis, ia menyembah realitas. la bukanlah pemerintah yang mau membunuh atau membawa bangsa ke dalam lumpur guna mengikuti ideologi (baca: agama) yang tidak bermanfaat... Setiap pribadi bebas untuk berpendapat dan mempercayai (agama), bebas untuk menganut aliran politik yang sesuai untuk dirinya, bebas untuk ber­tindak apapun guna kebaikan dirinya dalam hal yang berkenaan dengan peraturan ke­agamaan. (Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, t.th:591-592)

Upaya Ataturk yang begitu tajam menggusur pengaruh dan peranan agama da­lam kehidupan publik di Turki tidak diragukan sangat dipengaruhi oleh kekecewaannya atas penggunaan simbol Islam oleh penguasa Us­mani terutama guna memberikan legitimasi ter­hadap kedudukan mereka.

Revolusi yang dimotori Attaturk harus selalu bersifat revolusioner, karena ia merupakan “re­form atas prinsip-prinsip” bernegara. Revolusi Turki menurutnya adalah “sebuah hasil alami dan abadi dari prinsip-printiip revolusioner sehingga kehidupan dianggap sebagai berda­sarkan kepada tantangan duniawi belaka. Sebagai pengejawantahannya Ataturk meng­acu kepada sentralitas ilmu pengetahuan da­Iam menciptakan perubahan-perubahan pen­ting dan spektakular. Dengan berpegang kepada ilmu positif, bukan yang mistis dan dogmatis, maka prinsip-prinsip akan terus diperbaharui guna menjaga vitalitas dan re­levansi. Menurut Ataturk “kita memperoleh inspirasi bukan dari langit tetapi langsung dari kehidupan”.

Penutup
Mustafa Kemal Ataturk meninggal dunia di tahun 1938. Usaha pembaharuan yang dimulainya dijalankan terus oleh pengikut-pengikutnya. Meskipun demikian, rasa keagamaan yang mendalam dikalangan rakyat Turki tidak menjadi lemah dengan sekularisasi yang di­lakukan Mustafa Kemal Ataturk dan pengikutnya. Bahkan tidak lama kemudian gerakan “kembali kepada agama” timbul di Turki.

Tercatat dua tahun pasca wafatnya Mustafa Kemal Ataturk, yakni di tahun 1940-an imam-imam tentara mulai bertugas di Angkatan Bersenjata Turki. Di tahun 1949 pendidikan agama dimasukkan kembali ke dalam kurikulum sekolah selama dua jam seminggu. Setahun kemudian pendidikan agama itu dibuat bersifat wajib. Fakultas Ilahiyat yang pada tahun 1933 telah dirobah menjadi Institut Studi Islam, kemudian di­hidupkan kembali di tahun 1949. Dan, mulai dari tahun 1950 orang­-orang Turki telah dibolehkan naik haji ke Mekkah.

Daftar Pustaka
Ade Solihat. Kemalisme, Budaya dan Negara Turki. http://www.fib.ui.ac.id/artikel.fib./2005/05/16/op.html/top
Harun Nasution. 1994. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Ira M. Lapidus. 1999. Sejarah Sosial Umat Islam diterjemahkan dari judul asli A History of Islamic Societies oleh Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Syafiq A. Mughni. 1997. Sejarah Kebudayaan Islam Di Turki. Jakarta: Logos.
Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah. t.t., Ensiklopedia Islam Indonesia .Jakarta; Penerbit Djambatan.
Tim Redaksi IAIN Syarif Hidayatullah. t.t.. Ensiklopedi Islam. Jakarta; PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.

Catatan:
Ditulis oleh H. Mubarak, S.Pd.I., M.Pd.I. Makalah ini disajikan dalam diskusi ilmiah dosen FAI Unikarta.











0 komentar

Advertisement