04/05/2016

Ilustrasi Alquran dan Asbab al Nuzul
Pendahuluan
Pembahasan yang akan ditelaah di dalam makalah ini ialah tentang peranan asbâb al-nuzûl dalam memahami al-Qur’an. Pembahasan makalah ini akan membawa kita kepada penelaahan mengenai asbâb al-nuzûl sebagai salah satu bagian di dalam ilmu al-Qur’an yang berperan dalam memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an.

Jika ditelaah mengenai asbâb al-nuzûl ini, maka dapat dinyatakan bahwa asbâb al-nuzûl adalah konsep atau teori atau berita tentang adanya sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW., baik berupa satu ayat, satu rangkaian ayat atau satu surat. Konsep ini muncul karena pada kenyataannya diketahui dengan cukup pasti bahwa ada situasi atau konteks tertentu diwahyukannya suatu firman. Beberapa diantaranya bahkan dapat langsung disimpulkan dari lafal teks firman yang bersangkutan. Contohnya seperti pada ayat pertama surat al-Anfâl yang menunjukkan dengan jelas bahwa firman itu diturunkan kepada Nabi untuk memberi petunjuk kepada beliau mengenai perkara yang ditanyakan orang tentang bagaimana membagi harta rampasan perang. Atau, seperti surat al-Lahab, atau juga disebut dengan surat al-Masad, yang jelas turunnya berkaitan dengan pengalaman Rasulullah SAW. dengan seorang tokoh kafir Quraisy, yakni paman nabi sendiri yang bernama Abu Lahab beserta istrinya. Namun, untuk lebih jelasnya mengenai asbâb al-nuzûl ini, baik menyangkut pengertiannya ataupun perannannya dalam memahami al-Qur’an, dapat disimak pada uraian di bawah ini.

Pengertian Asbâb Al-Nuzûl
M. Quraisy Syihab di dalam buku Sejarah dan Ulum Al-Qur’an (1999:78) mengutip pandangan al-Zarqani menyatakan bahwa asbâb al-nuzûl adalah suatu kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat, atau suatu peristiwa yang dapat dijadikan petunjuk hukum berkenaan turunnya suatu ayat. Sedangkan, menurut Subhi al-Shalih disebutkan bahwa asbâb al-nuzûl adalah sesuatu yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat yang memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab itu. Dua pendapat ini pada intinya sama, yakni sama-sama menyebutkan bahwa asbâb al-nuzûl adalah kejadian yang menyebabkan turunnya ayat al-Qur’an, yang memberikan petunjuk terhadap sebab turunnya, atau berkenaan dengan pokok hukum di dalam ajaran agama Islam. Sedangkan penjelasan lainnya yang juga hampir sama dengan pendapat di atas menyangkut pengertian asbâb al-nuzûl ini adalah dari Al-Sayyid ‘Alawî Al-Mâliki (1960:53), mengatakan sebagai berikut:

ﺳﺒﺐ ﺍﻟﻨﺰﻭﻝ׃ ﻫﻮ ﻣﺎ ﻧﺰﻟﺖ ﺍﻵﻳﺔ ﺃﻭ ﺍﻵﻳﺎﺕ ﻣﺘﺤﺪﺛﺔ ﻋﻨﻪ ﺃﻭ ﻣﺒﻴﻨﺔ ﳊﮑﻤﻪ ﺃﻳﺎﻡ ﻭﻗﻮﻋﻪ ﲟﻌﻨﻰ ﺃﻧﻪ ﺣﺎﺩﺛﺔ ﻭﻗﻌﺖ ﰱ ﺯﻣﻦ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺃﻭ ﺳﺆﺍﻝ ﻭﺟﻪ ﺇﻟﻴﻪ ﻓﻨﺰﻟﺖ ﺍﻵﻳﺔ ﺃﻭ ﺍﻵﻳﺎﺕ ﻣﻦ ﺍﷲ ﺑﺒﻴﺎﻥ ﻣﺎ ﻳﺘﺼﻞ ﺑﺘﻠﻚ ﺍﳊﺎﺩﺛﺔ ﺃﻭ ﲜﻮﺍﺏ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ

Dari pernyataan Al-Sayyid ‘Alawî Al-Mâliki di atas tentang pengertian asbâb al-nuzûl (meskipun Al-Sayyid ‘Alawî menyebutkan kata asbâb dengan bentuk mufrad/tunggal), dapat ditarik pemahaman bahwa :
asbâb al-nuzûl adalah turunnya satu ayat atau beberapa ayat sebagai pemberitaan atau penjelasan tentang suatu hukum pada hari-hari terjadinya (penyebab turunnya ayat);
Kejadian (penyebab turunnya ayat) tersebut terjadi di masa Rasulullah SAW.;
Penyebab turunnya ayat kepada Rasulullah SAW. dapat pula berupa permasalahan yang disampaikan kepada Rasulullah SAW. sehingga turunlah ayat dengan penjelasan hukum yang berhubungan dengan kejadian dan jawaban terhadap permasalahan yang diperhadapkan kepada beliau.

Dari pandangan di atas, secara keseluruhan para ahli di atas memiliki perspektif yang sama dalam memberikan definisi asbâb al-nuzûl.

Peranan Asbâb Al-Nuzûl Dalam Memahami Al-Qur’an
Al-Qur’an oleh kebanyakan para ulama dinyatakan sebagai sesuatu yang mesti dipahami dalam konteks asbâb al-nuzûl.-nya. Mengapa?. Karena, dengan memperhatikan asbâb al-nuzûl-nya akan jelas terkuak kandungan yang terdapat di dalam ayat-ayat al-Qur’an tersebut. Hal ini juga memberikan arti bahwa istilah "asbâb" dalam rumusan pengertian yang telah dikemukakan sebelumnya –yakni, peristiwa yang terjadi atau pertanyaan yang dikemukakan kepada Rasulullah SAW. sehingga turunnya ayat-, adalah konteks persoalan yang menjadi latarbelakang bagi aya-ayat yang turun kepada Rasulullah SAW.

Di bawah ini penulis akan memperjelas peranan asbâb al-nuzûl bagi kepentingan memahami ayat-ayat al-Qur’an beserta kandungan ajaran agama Islam yang terdapat di dalamnya.

1. Mengetahui peristiwa yang melatarbelakangi diturunkannya suatu ayat al-Qur’an. Mengenai sub-topik ini Al-Sayyid ‘Alawî Al-Mâliki (1960:53) didalam bukunya Faydh al-Khabayr wa Khalâsat al-Taqrîr mengemukakan pandangan dua orang pakar al-Qur’an, antara lain al-Wâhidy yang mengatakan bahwa:
ﻻ ﳝﮑﻦ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺗﻔﺴﻴﺮ ﺍﻵﻳﺔ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﻮﻗﻮﻑ ﻋﻠﻰ ﻗﺼﺘﻬﺎ ﻭ ﺑﻳﺎﻥ ﻧﺰﻭﻟﻬﺎ
Artinya: “Tidak mungkin mengetahui tafsir ayat jika tidak (mengetahui) cerita tentang ayat (yang dimaksud) dan penjelasan turunnya”.
Sedangkan Ibn Daqîq al-‘Aid mengatakan bahwa:
ﺑﻴﺎﻥ ﺳﺒﺐ ﺍﻟﻨﺰﻭﻝ ﻃﺮﻳﻖ ﻗﻮﻱ ﰱ ﻓﻬﻢ ﻣﻌﺎﻧﻰ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ
Artinya: “Penjelasan sebab turun (al-Qur’an) adalah jalan yang paling kuat dalam memahami makna-makna al-Qur’an”.

Jalal al-Din al-Sayuti di dalam buku Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’an Juz 1 (t.t.: 29) mengutip pandangan Ibn Taymiyah mengenai asbâb al-nuzûl yaitu:
  ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺳﺒﺐ ﺍﻟﻨﺰﻭﻝ ﻳﻌﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﻓﻬﻢ ﺍﻵﻳﺔ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻌﻠﻢ
ﺑﺎﻟﺴﺒﺐ ﻳﻮﺭﺙ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎﳌﺴﺒﺐ
Artinya: “Mengetahui sebab turun(-nya ayat) turut menentukan pemahaman terhadap suatu ayat. Maka sesungguhnya pengetahuan itu memiliki sebab, dan diwariskan pengetahuan memiliki penyebab”.
Dari pandangan di atas, dapat dipahami bahwa pengetahuan tentang asbâb al-nuzûl akan membantu seseorang memahami konteks diturunkannya sebuah teks ayat suci. Dan menurut pandangan penulis, setelah teks ayat suci tersebut dipahami, kemudian akan memberikan implikasi terhadap bahan melakukan penafsiran dan pemikiran tentang bagaimana mengimplementasikan kandungan ajaran Islam dalam situasi yang berbeda. Sebagai contoh, dapat dilihat pada surat al-Baqarah (2) :115 :
Artinya: “dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui”. Sebab turunnya ayat ini menurut Ibn ‘Umar, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslîm, al-Turmudzi, dan al-Nasâ’i disebabkan ketika Rasulullah SAW. dalam perjalanan dari Mekah ke Madinah, beliau shalat di atas kendaraan menghadap sesuai dengan arah tujuan kendaraannya. Hadits ini shahih menurut riwayat Muslim, terutama isnâdnya. Bahkan, sebagian ulama menganggap bahwa riwayat tersebut cukup kuat.

Dalam riwayat lain, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Jarîr dan Ibn Abî Hâtim dari 'Alî bin Abî Thalhah yang bersumber dari Ibn ‘Abbâs. dikemukakan bahwa ketika Rasullah SAW. hijrah ke Madinah, beliau diperintahkan oleh Allah SWT. untuk menghadap ke Bayt al-Maqdis di waktu shalat. Maka gembiralah kaum Yahudi. Rasulullah SAW melaksanakan perintah itu beberapa belas bulan lamanya, tetapi dalam hatinya tetap ingin menghadap ke qiblatnya Nabi Ibrahim AS. (Mekkah). Beliau selalu berdoa kepada Allah sambil menghadapkan muka ke langit; menantikan turunnya wahyu. Maka turunlah ayat (QS. 2: 144) yang berbunyi: ...ﻗﺪ ﻧﺮﻯ ﺗﻘﻠﺐ ﻭﺟﻬﻚ ﻓﻰ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ sampai akhir ayat. Kaum Yahudi menjadi bimbang karena turunnya ayat itu (QS. 2. 144), sehingga mereka berkata: “Apa yang menyebabkan mereka membelok dari qiblat yang mereka hadapi selama ini?” Maka Allah menurunkan ayat ini (QS. 2: 115) sebagai jawaban atas pertanyaan orang-orang Yahudi (Ahmad al-Shâwiy al-Mâliki, 1993:81).

2. Mengetahui pengertian yang terkandung di dalam ayat al-Qur’an.
Asbâb al-nuzûl diketahui (sebagaimana keterangan di atas) dapat menjadi petunjuk tentang peristiwa atau kejadian yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat al-Qur’an. Selanjutnya asbâb al-nuzûl juga dapat memberikan keterangan tentang makna yang terkandung di dalam suatu ayat. Sebagai contoh, dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ‘Urwah Ibn Zubayr mengalami kesulitan dalam memahami ungkapan al-Qur’an yang berbunyi : ... ﻓﻼ ﺟﻨﺎﺡdi dalam surah al-Baqarah (2) ayat 158 (Al-Sayyid ‘Alawî Al-Mâliki, 1960:102) berikut ini.
Artinya: “Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah. Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, Maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. dan Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha mengetahui”.

‘Urwah Ibn Zubayr berpendapat bahwa orang yang tidak thawaf di kedua tempat (al-Shafâ dan al-Marwat) itu tidak berdosa.Ia pun bertanya kepada ‘Aisyah, yang kemudian dijawab ‘Aisyah: “Sebenarnya ta’wilmu (interpretasimu) itu hai anak saudariku, tidaklah benar. Akan tetapi ayat ini (QS. 2:158) turun mengenai Kaum Anshâr. Mereka yang sebelum masuk Islam mengadakan upacara keagamaan kepada Manât (tuhan mereka) yang jahat, menolak berthawaf antara Shafa dan Marwah. Mereka bertanya kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, di zaman Jahiliyyah kami berkeberatan untuk thawaf di Shafa dan Marwah”. Hadis ini diriwayatkan oleh al-Syaikhâni dan yang lainnya dari 'Urwah yang bersumber dari 'Aisyah.

Dalam riwayat lainnya dikemukakan bahwa ‘Âshim ibn Sulaimân bertanya kepada Anas tentang al-Shafâ dan al-Marwat. Anas berkata: “Kami berpendapat bahwa thawaf antara al-Shafâ dan al-Marwat adalah upacara di jaman Jahiliyyah, dan ketika Islam datang, kami tidak melakukannya lagi”. Maka turunlah ayat tersebut di atas (QS. 2:158) yang menegaskan hukum Sa’i dalam Islam. Ini merupakan riwayat dari al-Bukhari yang bersumber dari 'Âshim ibn Sulaimân.

Sedangkan menurut riwayat Ibn ‘Abbas menerangkan bahwa syaitan-syaitan di jaman Jahiliyyah berkeliaran pada malam hari antara al-Shafâ dan al-Marwat dan di antara kedua tempat itu terletak berhala-berhala mereka. Ketika Islam datang berkatalah kaum Muslimin kepada Rasulullah SAW: “Ya Rasulullah, kami tidak akan berthawaf antara al-Shafâ dan al-Marwat, karena upacara itu biasa kami lakukan di jaman Jahiliyyah.". Maka turunlah ayat tersebut di atas (QS. 2 : 158). Hadis ini diriwayatkan oleh al-Hâkim yang bersumber dari Ibn ‘Abbas.

Menurut pandangan di atas jelaslah kiranya bahwa asbâb al-nuzûl juga mampu memberikan keterangan tentang maksud atau pengertian yang terkandung di dalam suatu ayat. Sehingga, dalam konteks peranan asbâb al-nuzûl, maka ilmu asbâb al-nuzûl sangat bermanfaat sekali dalam mengeksplorasi pemahaman terhadap kandungan ayat al-Qur’an beserta konteks ajaran Islam di dalamnya.

3. Mengetahui sifat diberlakukannya suatu hukum dalam ketentuan syari’at.
Selain persoalan di atas, ilmu asbâb al-nuzûl juga sangat berperan dalam mengetahui sifat diberlakukannya suatu hukum dalam ketentuan syari’at. Dalam konteks ini asbâb al-nuzûl menunjukkan bahwa diberlakukannya suatu hukum yang bersumber dari wahyu yang diturunkan kepada Nabi SAW. bisa jadi bersifat khusus, namun implikasinya bersifat umum, sehingga hukum tersebut juga berlaku dalam ketentuan syar’i. Sebab, di dalam al-Qur’an sendiri terdapat suatu peristiwa nyata yang menyangkut.Rasulullah SAW. dan masyarakat Islam di zaman beliau Contohnya, seperti adanya nama pribadi Zayd ibn Haritsah yang tersebutkan dalam al-Qur'an, yakni surah al-Ahzab (33) ayat 37 (Al-Sayyid ‘Alawî Al-Mâliki, 1960:103) sebagai berikut:


Artinya: “dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”.

Ayat di atas adalah konteks turunnya al-Qur’an yang bersifat khusus atau pribadi, yakni berupa perceraian Zayd ibn Haritsah (anak angkat Rasulullah SAW.) dari istrinya, Zaynab. Turunnya ayat ini telah menjadi titik tolak ditetapkannya suatu hukum dalam koridor syar’i mengenai pembatalan atau penghentian makna kehukuman (legal significance) praktek pengambilan anak angkat (tanpa memelihara atau mempertahankan adanya informasi tentang, siapa ayah-ibu biologis anak tersebut).
Pembatalan ini dipertegas dengan contoh nyata, yaitu dinikahkannya Rasulullah SAW. oleh Allah dengan Zaynab, setelah bercerai dari, Zayd ibn Haritsah, bekas anak angkatnya. Kemudian Zayd ibn Haritsah pun tidak lagi menyandang nama “ibn Muhamad” tapi dikembalikan kepada nama aslinya, yaitu “ibn Haritsah”. Jadi firman itu memang turun kepada Nabi berkenaan dengan suatu peristiwa konkret yang menyangkut sepasang suami-istri. Dapat dilihat bahwa dalam peristiwa Zaid dan Zainab dan yang ditangani langsung oleh kitab suci itu terdapat kaitan antara suatu nilai hukum kulli (universal), yaitu pembatalan makna legal praktek mengangkat anak, dengan sebuah kasus juz'i (partikular), yaitu perceraian Zaid dari Zainab dan perkawinan Nabi dengan Zainab, bekas “menantu”-nya.

Masalah selanjutnya yang lebih esensial dari contoh di atas itu ialah, bagaimana suatu nilai dari sebuah kasus dapat ditarik dari dataran generalitas yang setinggi-tingginya. Dengan begitu nilai tersebut tidak lagi terikat oleh kekhususan peristiwa asal mulanya dan dapat diberlakukan pada kasus-kasus lain di semua tempat dan sepanjang masa (dan inilah makna universalitas suatu nilai).

Para ahli hukum Islam telah membuat patokan untuk masalah ini, dengan kaidah mereka (Rahmat Syafe’i, 1999:148), yaitu:
ﺃﻟﻌﺒﺮﺓ ﺑﻌﻤﻮﻡ ﺍﻟﻠﻔﻈ ﻻ ﺑﺨﺼﻮﺹ ﺍﻟﺴﺒﺐ
Artinya: Yang dipandang dasar (titik tolak) adalah petunjuk umum dasar lafazh bukan sebab khusus (latarbelakang kejadian).

Dari kaidah di atas dapat dipahami bahwa pengambilan makna dilakukan berdasarkan generalitas lafal, bukan berdasarkan partikularitas penyebab. Meskipun demikian, sebuah generalisasi hanya dapat dilakukan jika inti pesan suatu ayat al-Qur’an dapat ditangkap. Ini dengan sendirinya menyangkut masalah kemampuan pemahaman yang mendalam sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya. Dengan demikian, konteks permasalahan yang berlaku secara partikular kepada Zaid, Zainab, dan Rasulullah SAW., yakni berupa perceraian Zaid dari Zainab dan perkawinan Rasulullah SAW. dengan Zainab, kemudian juga menjadi hukum yang berlaku bagi kaum muslim.

Dalam hal ini, kembali kepada peranan asbâb al-nuzûl, maka ilmu asbâb al-nuzûl sangat berperan dalam mengetahui sifat diberlakukannya suatu hukum dalam ketentuan syari’at.

Penutup
Asbâb al-nuzûl sebagai bagian di dalam ilmu al-Qur’an menjadi petunjuk bagi latarbelakang peristiwa yang menyebabkan turunnya suatu ayat al-Qur’an. Selain itu, peranannya bagi upaya memahami kandungan ajaran Islam melalui konteks ayat serta pemberlakuan hukum dalam koridor syar’i semakin memantapkan peranan asbâb al-nuzûl dalam penafsiran-penafsiran teks wahyu al-Qur’an. Sehingga, boleh dikatakan bahwa asbâb al-nuzûl memiliki urgensinya secara tersendiri bagi upaya memahami al-Qur’an.

Dengan demikian, penelaahan terhadap asbâb al-nuzûl penting sekali untuk terus digali sebagai patokan dan landasan bagi umat Islam dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an, serta kandungan ajaran Islam yang terdapat padanya.

Daftar Pustaka

Ahmad al-Shâwiy al-Mâliki. 1993. Hâsyiat al-‘Alâmat al-Shâwî, Juz 1. Beirut; Maktab Dâr al-Fikr.
Al-Sayyid ‘Alawî. 1960. Faydh al-Khabayr wa Khalâsat al-Taqrîr. Surabaya; Maktabat al-Hidâyat.
Jalal al-Din al-Sayuti. t.t. Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’an, Juz 1. Beirut; Maktab Dâr al-Fikr.
M. Quraisy Syihab, dkk. 1999. Sejarah dan Ulum Al-Qur’an. Jakarta; Pustaka Firdaus.
Rahmat Syafe’i. 1999. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung; CV. Pustaka Setia.

Catatan:
Ditulis oleh H. Mubarak, S.Pd.I., M.Pd.I. Makalah ini disajikan dalam diskusi ilmiah dosen FAI Unikarta. 

0 komentar

Advertisement