09/05/2016

Ilustrasi Saut vs HMI
Mubaraklink.Web.Id - Mendekati akhir pekan ini (Kamis, 05/05/2016) Warga Himpunan -sebutan saya untuk mayoritas aktivis dan mantan aktivis serta pegiat organisasi HMI/Himpunan Mahasiswa Islam- dikejutkan dengan pernyataan salah seorang komisioner KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yaitu THONY SAUT SITUMORANG dalam program acara “Benang Merah” di stasiun televisi swasta nasional TVOne dengan tema “Harga Sebuah Perkara”. Didaulat untuk berbicara dalam program acara tersebut tentu menjadi nilai prestisius bagi Saut (untuk selanjutnya menyebut Thony Saut Situmorang) dalam kapasitasnya sebagai seorang pimpinan lembaga negara sekelas KPK. Sebab, selain momentum kelembagaan untuk mempersuasi -persuasi adalah komunikasi yang digunakan untuk mempengaruhi dan meyakinkan orang lain, yang mana melalui persuasi ini setiap individu mencoba berusaha mempengaruhi kepercayaan dan harapan orang lain, lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Persuasi- pesan ke tengah publik, berbicara sehubungan otoritas kerja kelembagaannya akan mengangkat lebih tinggi citra sang komisioner. Namun disayangkan kegagalan olahkata sang komisioner sedikit banyaknya berdampak terhadap persuasi pesan yang kontraproduktif di ruang publik. Rekaman video pernyataan Saut saat ini masih dapat disaksikan di Youtube https://www.youtube.com/watch?v=I9DLPO9c9ms dimana secara jelas ia mengatakan “Saya selalu bilang, kalau dia HMI, minimal dia ikut LK I. Iyakan, lulus itu. Anak-anak mahasiswa itu, pinter. Tapi begitu menjadi menjabat, ia menjadi jahat, curang, greedy...”.

Ada apa dengan Saut?. Pertanyaan inilah yang pertama kali terlintas dibenak saya ketika merespon informasi yang berkembang seputar kasus Saut versus HMI ini. Meskipun kini saya tidak aktif lagi bernaung dibawah bendera Hijau-Hitam akan tetapi memori perkaderan LK I (Basic Training) dan LK II (Intermediate Training) yang pernah saya ikuti di HMI sangat menolak dengan statmen Saut tersebut. Atau, secara Warga Himpunan, saya merasa terzholimi oleh olahkata Saut yang kurang tepat dalam membuat “contoh” tersebut. Meskipun saya mengakui banyak sekali para petinggi di negeri ini yang dilahirkan dari rahim perkaderan HMI, diantaranya ada yang bermasalah dengan perkara hukum, tetapi masih banyak juga kok orang-orang yang terlibat dalam sistem pemerintahan yang pernah dilahirkan dari perkaderan HMI, tetapi memberikan jasanya untuk kejayaan Negara Indonesia. Intinya, saya tidak dapat menerima contoh yang dibuat oleh Saut dengan mendiskreditkan HMI secara sepihak. Mengapa cuma HMI yang disebutnya sebagai contoh, sedangkan para pejabat yang berperkara dengan kasus korupsi bukan hanya dari HMI. Di sinilah menurut saya letak sensitifnya pernyataan Saut itu.

Kegagalan Olahkata
Saut telah gagal merangkai kata (olahkata) dengan baik. Demikian praduga saya ketika menyimak lemahnya persuasi yang dibuat oleh Saut tatkala mengurai pandangannya tentang buruknya sistem di negara ini sehingga orang-orang yang dipersiapkan dengan baikpun nyaris tak memiliki peluang untuk tetap menjadi baik ketika masuk ke dalam sistem.

Dalam ilmu komunikasi kefektifan komunikasi massa dapat diukur dari efek proporsional kognitif yang dibuat oleh seorang komunikator kepada audiens selaku komunikan (penerima pesan). Namun Saut telah gagal membuat efek proporsional kognitif itu, dimana informasi yang ia berikan tidak memberikan manfaat atau nilai informasi yang berguna bagi khalayak. Lebih tragis lagi, informasi yang dibuat oleh Saut lebih berdampak terhadap respons emosional karena pernyataannya yang terkesan generalisir, tendensius dan unfair (tidak adil).

Dengan menyebutkan HMI secara jelas sebagai contoh, Saut telah menggeneralisir bahwa setiap kader HMI, minimal yang dilahirkan dari perkaderan setingkat LK I (Basic Training), meskipun pintar-pintar, tetapi ketika masuk dalam sistem (menjadi pejabat) “pasti” akan menjadi jahat, curang, dan greedy (serakah). Pernyataan Saut ini menurut saya telah mengaburkan makna perkaderan yang pernah saya terima dulu ketika ikut dalam Training LK I dan LK II HMI, ketika MOT (Master of Training) secara ideal memaparkan orientasi training. Saut yang mungkin karena pemahamannya yang sempit, telah gagal memahami HMI beserta proses perkaderannya sehingga mengambil contoh atas kesalahan dari sedikit kader HMI yang berperkara dengan hukum.

Kegagalan olahkata Saut juga terasa dari nuansa tendensius yang dimunculkan sehingga dikhawatirkan akan menyulut wilayah SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). Hal ini terkait HMI sebagai organisasi ekstra kemahasiswaan yang berbasis Islam. Banyak tokoh-tokoh Muslim dari kalangan Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang pernah lahir dari rahim perkaderan HMI. Ketika mereka ini sebagai alumni HMI juga digeneralisir dan secara tidak sengaja didiskreditkan oleh pernyataan Saut maka apakah ini bukan menyulut wilayah SARA namanya?.

Unfair Statement
Saut sangat tidak beretika sebagai Pimpinan KPK ketika mengambil contoh HMI sebagai landasan bicaranya tanpa disertai paparan data dan fakta. Keputusan KPK No. Kep-06/P.KPK/02/2004 tentang Kode Etik Pimpinan KPK pada Pasal 4 huruf f secara jelas mengharuskan seorang Pimpinan KPK memiliki nilai-nilai dasar pribadi (basic individual values) yang unggul, selalu meningkatkan pengetahuan dan kapasitas pribadinya, yang dijelaskan dalam Pasal 5 dilaksankan dalam bentuk sikap, tindakan, prilaku dan ucapan pimpinan KPK, yang jika dilanggar harus siap menerima sanksi tegas. Landasan bicara dengan data dan fakta sangat penting bagi komunikasi pimpinan KPK agar tidak “asbun” atau asal bunyi.

Kalau saja, saat statmen Saut di TVOne kala itu juga menyertakan data, minimal khalayak mengetahui berapa prosentase kader HMI yang bermasalah dengan perkara korupsi jika dibandingkan dengan prosentase kader organisasi lain yang sejenis yang berperkara juga dengan kasus korupsi. Lalu, kalau boleh juga berbanding lurus dengan informasi terkait prosentase kader HMI dan kader organisasi lainnya yang tidak berperkara dengan kasus korupsi tetapi turut membantu menata sistem, tentu akan sangat fair.

Petaka wicara Saut jangan dilihat karena ketidaksengajaan. Sebagai Pimpinan KPK yang dalam kode etiknya dibekali peringatan untuk berkewajiban menggunakan sumber daya publik secara efektif, efesien dan tepat, serta menghilangkan sifat arogansi individu dan sektoral maka polemik pernyataan Saut telah “mengebiri” kode etik kelembagaannya sendiri. Lalu pertanyaannya, masih pantaskan Saut menduduki lembaga negara yang berprinsip zero tolerance atau tanpa toleransi sedikitpun atas penyimpangan penerapan kode etik bagi pimpinan KPK?.

Menyoal Pribadi Saut
Mengulas sedikit saja masalah pribadi Saut di media massa telah banyak kontroversi yang memberitakan sisi janggal pribadinya, dari kasus kepemilikan PT. Indonesia Cipta Investama, Mobil seharga Rp. 1,1 Milyar dan yang turut diberitakan oleh salah satu media masa online (lihat: http://www.teropongsenayan.com/38560-ketika-lidah-saut-situmorang-berubah-jadi-sembilu) bahwa Saut yang usai terpilih sebagai salah satu pimpinan KPK menjanjikan hal yang merisaukan kalangan penggiat korupsi, yaitu mengabaikan kelanjutan kasus BLBI, FPJP dan Bank Century, serta berpikiran kasus-kasus semacam itu malah bisa menimbulkan korupsi baru. Bagi masyarakat silahkan menilai Saut dari kacamata masing-masing (lihat: http://nasional.kompas.com/read/2016/02/05/14453091/Datangi.KPK.Fahmi.Idris.Pertanyakan.Kasus.Century.dan.BLBI.yang.Dinilai.Mangkrak?utm_campaign=related&utm_medium=bp-kompas&utm_source=news&).

0 komentar

Advertisement