Ziarah Makam Aulia di Jakarta |
Mubaraklink.Web.Id - “Tugas negara lagi!” demikian benak saya bergumam ketika sebuah informasi masuk ke salah satu grup BBM di HP saya. Instruksi itu jelas saya baca dikirim oleh Koordinator kami di kantor. Memang, tugas ke Jakarta selalu menjadi “jatah” saya untuk dilaksanakan. Meskipun tugas ke daerah lain, selain Ibu Kota, masih juga saya harap-harapkan, untuk menambah pengalaman tentunya. Tapi apalah daya, Koordinator selalu mengarahkan saya untuk mengikuti kunjungan ke Ibu Kota. Jadi, dengan “komitmen profesional” akhirnya saya pasang “nawaitu” dalam hati, saya siap bertugas ke Jakarta dengan landasan komitmen profesional saya. Intinya, saya siap laksanakan tugas, tanpa mengucapkan hal apapun yang kurang pantas.
By the way, akhirnya saya berpikir agar kunjungan ke Ibu Kota bukan hanya menjadi rutinitas melainkan dapat lebih bermakna, dan saya putuskan agar nantinya menyempatkan Ziarah Makam Aulia yaitu ke Makam Habib Luar Batang yang pernah saya lihat melalui televisi, sewaktu sedang rame-ramenya polemik yang memberitakan Pak Ahok (Basuki Tjahaya Purnama), Sang Gubernur DKI Jakarta, menggusur (dalam arti sebenarnya: merelokasi) Pasar Ikan di Penjaringan, Jakarta Utara. Begitu niat saya kala itu.
Dan, hari itupun tiba. Tugas kunjungan ke salah satu Kantor Direktorat Kementerian ESDM pun telah rampung saya tunaikan. Saya gembira karena tugas telah saya tunaikan, yang juga berarti bahwa komitmen profesional dalam pekerjaan tetap saya junjung tinggi. My Job is My Honor (Pekerjaan saya adalah Kehormatan diri saya). Lalu, dengan dalih membuat laporan saya meminta izin dengan teman staf lainnya untuk kembali ke Tenggarong mengambil penerbangan sore (sekitar pukul 17.55 WIB waktu itu). Teman saya itupun memaklumi karena alasan saya itu sangat tepat dan tidak dapat dipisahkan dari tugas saya untuk mendampingi ke Jakarta. Terlebih, antara kami sesama staf ada chemistry yang baik, tentunya dengan landasan profesionalisme kerja.
Pagi-pagi sekali saya turun dari kamar Hotel Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, menuju lantai lobby, menghadap resepsionis hotel untuk menitipkan kunci kamar saya. Jakarta, di jam 7.30 masih sangat pagi, begitu yang saya perhatikan dan klop dengan petunjuk di jarum jam tangan saya. Eits... hehehe.... ternyata saya lupa. Rupanya jam tangan saya masih mengikuti waktu di Tenggarong, jadi.... saat itu sebenarnya masih jam 6.30, begitu waktu digital di HP saya (yang lebih up to date tentunya) menunjukan. Pantas saja, saya yang baru 45 menit lalu baru menyelesaikan Sholat Subuh merasa alam sekitar terlihat masih agak gelap. Tapi, inilah Jakarta. Jam segitu mobil mewah maupun taksi argo masih banyak yang berseliweran. Membuat banyak pertanyaan dibenak saya, yang... sepertinya... tidak perlu lah saya ungkapkan disini. Hehehe..... .
Kembali ke niat awal saya, akhirnya saya putuskan untuk menyewa Tukang Ojek yang biasanya mangkal di depan TIM (Taman Ismail Marzuki). Pikir saya, saya yang sudah beberapa kali ke Ibukota merasa lebih santai kalau berkendaraan Ojek (Sebetulnya... alasannya juga karena dana yang ada dikantong lagi pas-pasan, dan lebih pas ngojek). Dari Hotel Cikini Kecil tempat saya menginap berjalan kaki ke depan TIM cukup dekat kira-kira 500 meter. Tapi... ya ampuuun.... jam segini (6.45) mana ada tukang ojek yang mangkal. Saya coba tanya ke Pak Lek Bubur Ayam yang sedang menyiapkan dagangannya, jawabannya simpel... Sampeyan Kepagian Mas!. Begitu jawabnya dengan entengnya. Tersisalah saya yang kebingungan sendiri. Akhirnya, dengan sebuah bacaan yang dulu pernah diajarkan oleh Ustaz saya waktu dulu masih mondok di pesantren, akhir... doapun terkabul. Entah dari mana saat itu lewatlah seorang tukang ojek dengan jaketnya yang khas warna hijau-hitam dengan tulisan “Go-Jek” di punggungnya. Alhamdulillah... ucapan itu saya lapalkan sebagai tanda syukur.
Setelah negosiasi harga dengan si tukang ojek, yang menurut saya cukup murah untuk jarak tempuh dari Jakarta Pusat ke Jakarta Utara dan ke Jakarta Pusat kembali, akhirnya kami deal untuk berangkat. Abang tukang ojek ini cukup ramah menurut saya, waktu saya katakan haus kepingin beli minuman dengan senang hati dia ketepikan motornya untuk saya, selanjutnya perjalanan ditempuh dengan santai, tidak tergesa-gesa, jauh dari kebut-kebutan khas “Amor” seperti ditampilkan sinetron Anak Jalanan yang syutingnya di Jakarta.
Alhasil, sampailah saya di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara. Memasuki Kampung Luar Batang yang padat pemukiman penduduk saya disambut dengan berbagai spanduk penolakan penggusuran oleh pemerintah. Bunyi spanduknya bermacam-macam. “Jangan Usir Rakyat Hanya Demi Kepentingan Pengembang”, “Rakyat Pasti Menang, Luar Batang Bersatu”. Ada juga yang isi spanduknya menohok, atau ninju banget isinya “Gubernur Agung Podomoro” begitu bunyinya. Untuk spanduk yang satu ini saya terkekeh dalam hati (hehehe... kok bisa ya?), ingat meme di DP BBM seorang teman yang menampilkan sosok Pangeran Diponegoro dengan pakaian khas jubah dan serbannya putihnya, dengan sososk disebelahnya yang mirip dengan Gubernur Ahok, berpakaian cheongsam pria berwarna merah dengan tulisan dibawahnya “Pangeran Dipodomoro”, hehehe.... ada aja ya.
Tanpa perlu panjang lebar menceritakan pergolakan warga Luar Batang dengan Gubernurnya, akhirnya saya tiba di Makam Habib Luar Batang. Alhamdulillah... begitu saya ucapkan. Memasuki kawasan Mesjid Keramat Luar Batang, atau nama aslinya Mesjid An Nur, saya disuguhkan dengan pemandangan bangunan masjid tua namun terawat yang juga merupakan salah satu cagar budaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Mesjid ini menghadap ke Pelabuhan Sunda Kelapa, dimana Mesjid ini memiliki 2 aula besar, yaitu Aula Dalam dan Aula Luar. Masing-masing aula tersebut memiliki 12 tiang pancang, yang katanya jika dijumlahkan menjadi 24 tiang pancang sebagai penanda jumlah jam dalam sehari-semalam, yaitu satu hari sama dengan 12 jam siang dan 12 jam malam. Aula luar adalah ruangan Mesjid An Nur sedangkan Aula Dalam ialah kubah lokasi makam Habib Husein dan muridnya, Haji Abdul Kadir.
Habib Luar Batang bernama Habib Husein bin Abu Bakar Al Idrus bin Abdullah bin Husein bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Husein bin Abdullah bin Abu Bakar Al Sakran bin Abdurrahman Al Saqqaf bin Muhammad Maula Al Dawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad Al Faqih Al Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath adalah seorang ulama kelahiran Migrab, dekat Hazam, Hadramaut. Beliau datang ke Betawi sekitar tahun 1746 M. Berdasarkan cerita bahwa beliau wafat di Luar Batang, Betawi pada tanggal 24 Juni 1756 M bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan 1169 H dalam usia lebih dari 30 tahun (dibawah 40 tahun ). Jadi, diduga sewaktu tiba di Betawi berumur 20 tahun. Habib Husein bin Abu Bakar Al Idrus memperoleh ilmu tanpa belajar atau dalam istilah Arabnya “Ilmu Wahbi”, yaitu pemberian dari Allah tanpa belajar dahulu. Kemasyhuran karomah Habib Luar Batang ini sudah melegenda dan tidak perlu saya ceritakan disini. Namun, intinya, saya sudah pernah berziarah ke makam beliau dengan harapan i’tibaroh dengan kemuliaan beliau.
Sekembalinya dari Makam Habib Luar Batang, tiba-tiba saya teringat cerita Makam Habib Cikini yang pernah heboh dengan air mancur yang keluar dari makamnya. Ternyata, makam beliau ini pas dijalan sebelah hotel tempat saya menginap. Tanpa pikir panjang, karena saya yakin bahwa bersitan memori di kepala ini bukan karena semata-mata saya yang menggerakan, saya minta tidak diantarkan langsung pulang ke hotel dengan abang ojek yang saya tumpangi, melainkan minta singgah sebentar ke Makam Habib Cikini. Alhamdulillah wa Syukrulillah, si abang tukang ojek ini manut saja dengan permintaan saya, dan kamipun menuju ke Makam Habib Cikini.
Makam Habib Cikini yang berada dibelakang Hotel Sofyan dan berdekatan dengan kali Ciliwung memiliki aura tersendiri menurut saya. Bagi sebagian orang mungkin biasa-biasa saja, tapi menurut perasaan saya Makam Habib Cikini ini punya magnet tersendiri. Habib Cikini atau selengkapnya nama dan nasab beliau Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Abdurrahman bin Husein bin Abdurrahman bin Hadi bin Ahmad Al Habsyi bin Ali bin Ahmad bin Muhammad Asadullah bin Hasan Al Turabi bin Ali bin Muhammad Al Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khala Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad Al Naqib bin Ali Al Uraidhi bin Ja'far Al Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Al Zahra binti Rasulullah Saw. Makam Habib Cikini ini konon dikatakan biasa-biasa saja, sampai kemudian pada tahun 2010 lalu pengembang perhotelan PT Cempaka Wenang Jaya akan membangun Apartemen Mutiara menteng di lokasi itu. Keajaiban terjadi ketika makam akan dibongkar. Sejumlah aliran air (dikatakan 33 mata air) memancar dari Makam Habib Cikini padahal debit air katanya saat itu tidak terlalu tinggi. Ada juga yang lebih ilmiah mengatakan bahwa itu peristiwa yang biasa saja karena dibawah Makam Habib Cikini katanya adalah aliran air Kali Ciliwung, tetapi banyak masyarakat awam yang menolak pendapat ini dengan berbagai alasan religi. Apapun alasannya, yang jelas saya bersyukur menyempatkan diri ke Makam Habib Cikini, Alhamdulillah.
Demikian sedikit yang saya dapat ceritakan, semoga di lain waktu ada lagi cerita-cerita yang lebih menarik, yang dapat saya ceritakan. Terimakasih sudah berkunjung ke blog saya.
By the way, akhirnya saya berpikir agar kunjungan ke Ibu Kota bukan hanya menjadi rutinitas melainkan dapat lebih bermakna, dan saya putuskan agar nantinya menyempatkan Ziarah Makam Aulia yaitu ke Makam Habib Luar Batang yang pernah saya lihat melalui televisi, sewaktu sedang rame-ramenya polemik yang memberitakan Pak Ahok (Basuki Tjahaya Purnama), Sang Gubernur DKI Jakarta, menggusur (dalam arti sebenarnya: merelokasi) Pasar Ikan di Penjaringan, Jakarta Utara. Begitu niat saya kala itu.
Dan, hari itupun tiba. Tugas kunjungan ke salah satu Kantor Direktorat Kementerian ESDM pun telah rampung saya tunaikan. Saya gembira karena tugas telah saya tunaikan, yang juga berarti bahwa komitmen profesional dalam pekerjaan tetap saya junjung tinggi. My Job is My Honor (Pekerjaan saya adalah Kehormatan diri saya). Lalu, dengan dalih membuat laporan saya meminta izin dengan teman staf lainnya untuk kembali ke Tenggarong mengambil penerbangan sore (sekitar pukul 17.55 WIB waktu itu). Teman saya itupun memaklumi karena alasan saya itu sangat tepat dan tidak dapat dipisahkan dari tugas saya untuk mendampingi ke Jakarta. Terlebih, antara kami sesama staf ada chemistry yang baik, tentunya dengan landasan profesionalisme kerja.
Pagi-pagi sekali saya turun dari kamar Hotel Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, menuju lantai lobby, menghadap resepsionis hotel untuk menitipkan kunci kamar saya. Jakarta, di jam 7.30 masih sangat pagi, begitu yang saya perhatikan dan klop dengan petunjuk di jarum jam tangan saya. Eits... hehehe.... ternyata saya lupa. Rupanya jam tangan saya masih mengikuti waktu di Tenggarong, jadi.... saat itu sebenarnya masih jam 6.30, begitu waktu digital di HP saya (yang lebih up to date tentunya) menunjukan. Pantas saja, saya yang baru 45 menit lalu baru menyelesaikan Sholat Subuh merasa alam sekitar terlihat masih agak gelap. Tapi, inilah Jakarta. Jam segitu mobil mewah maupun taksi argo masih banyak yang berseliweran. Membuat banyak pertanyaan dibenak saya, yang... sepertinya... tidak perlu lah saya ungkapkan disini. Hehehe..... .
Kembali ke niat awal saya, akhirnya saya putuskan untuk menyewa Tukang Ojek yang biasanya mangkal di depan TIM (Taman Ismail Marzuki). Pikir saya, saya yang sudah beberapa kali ke Ibukota merasa lebih santai kalau berkendaraan Ojek (Sebetulnya... alasannya juga karena dana yang ada dikantong lagi pas-pasan, dan lebih pas ngojek). Dari Hotel Cikini Kecil tempat saya menginap berjalan kaki ke depan TIM cukup dekat kira-kira 500 meter. Tapi... ya ampuuun.... jam segini (6.45) mana ada tukang ojek yang mangkal. Saya coba tanya ke Pak Lek Bubur Ayam yang sedang menyiapkan dagangannya, jawabannya simpel... Sampeyan Kepagian Mas!. Begitu jawabnya dengan entengnya. Tersisalah saya yang kebingungan sendiri. Akhirnya, dengan sebuah bacaan yang dulu pernah diajarkan oleh Ustaz saya waktu dulu masih mondok di pesantren, akhir... doapun terkabul. Entah dari mana saat itu lewatlah seorang tukang ojek dengan jaketnya yang khas warna hijau-hitam dengan tulisan “Go-Jek” di punggungnya. Alhamdulillah... ucapan itu saya lapalkan sebagai tanda syukur.
Setelah negosiasi harga dengan si tukang ojek, yang menurut saya cukup murah untuk jarak tempuh dari Jakarta Pusat ke Jakarta Utara dan ke Jakarta Pusat kembali, akhirnya kami deal untuk berangkat. Abang tukang ojek ini cukup ramah menurut saya, waktu saya katakan haus kepingin beli minuman dengan senang hati dia ketepikan motornya untuk saya, selanjutnya perjalanan ditempuh dengan santai, tidak tergesa-gesa, jauh dari kebut-kebutan khas “Amor” seperti ditampilkan sinetron Anak Jalanan yang syutingnya di Jakarta.
Alhasil, sampailah saya di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara. Memasuki Kampung Luar Batang yang padat pemukiman penduduk saya disambut dengan berbagai spanduk penolakan penggusuran oleh pemerintah. Bunyi spanduknya bermacam-macam. “Jangan Usir Rakyat Hanya Demi Kepentingan Pengembang”, “Rakyat Pasti Menang, Luar Batang Bersatu”. Ada juga yang isi spanduknya menohok, atau ninju banget isinya “Gubernur Agung Podomoro” begitu bunyinya. Untuk spanduk yang satu ini saya terkekeh dalam hati (hehehe... kok bisa ya?), ingat meme di DP BBM seorang teman yang menampilkan sosok Pangeran Diponegoro dengan pakaian khas jubah dan serbannya putihnya, dengan sososk disebelahnya yang mirip dengan Gubernur Ahok, berpakaian cheongsam pria berwarna merah dengan tulisan dibawahnya “Pangeran Dipodomoro”, hehehe.... ada aja ya.
Tanpa perlu panjang lebar menceritakan pergolakan warga Luar Batang dengan Gubernurnya, akhirnya saya tiba di Makam Habib Luar Batang. Alhamdulillah... begitu saya ucapkan. Memasuki kawasan Mesjid Keramat Luar Batang, atau nama aslinya Mesjid An Nur, saya disuguhkan dengan pemandangan bangunan masjid tua namun terawat yang juga merupakan salah satu cagar budaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Mesjid ini menghadap ke Pelabuhan Sunda Kelapa, dimana Mesjid ini memiliki 2 aula besar, yaitu Aula Dalam dan Aula Luar. Masing-masing aula tersebut memiliki 12 tiang pancang, yang katanya jika dijumlahkan menjadi 24 tiang pancang sebagai penanda jumlah jam dalam sehari-semalam, yaitu satu hari sama dengan 12 jam siang dan 12 jam malam. Aula luar adalah ruangan Mesjid An Nur sedangkan Aula Dalam ialah kubah lokasi makam Habib Husein dan muridnya, Haji Abdul Kadir.
Habib Luar Batang bernama Habib Husein bin Abu Bakar Al Idrus bin Abdullah bin Husein bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Husein bin Abdullah bin Abu Bakar Al Sakran bin Abdurrahman Al Saqqaf bin Muhammad Maula Al Dawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad Al Faqih Al Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath adalah seorang ulama kelahiran Migrab, dekat Hazam, Hadramaut. Beliau datang ke Betawi sekitar tahun 1746 M. Berdasarkan cerita bahwa beliau wafat di Luar Batang, Betawi pada tanggal 24 Juni 1756 M bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan 1169 H dalam usia lebih dari 30 tahun (dibawah 40 tahun ). Jadi, diduga sewaktu tiba di Betawi berumur 20 tahun. Habib Husein bin Abu Bakar Al Idrus memperoleh ilmu tanpa belajar atau dalam istilah Arabnya “Ilmu Wahbi”, yaitu pemberian dari Allah tanpa belajar dahulu. Kemasyhuran karomah Habib Luar Batang ini sudah melegenda dan tidak perlu saya ceritakan disini. Namun, intinya, saya sudah pernah berziarah ke makam beliau dengan harapan i’tibaroh dengan kemuliaan beliau.
Sekembalinya dari Makam Habib Luar Batang, tiba-tiba saya teringat cerita Makam Habib Cikini yang pernah heboh dengan air mancur yang keluar dari makamnya. Ternyata, makam beliau ini pas dijalan sebelah hotel tempat saya menginap. Tanpa pikir panjang, karena saya yakin bahwa bersitan memori di kepala ini bukan karena semata-mata saya yang menggerakan, saya minta tidak diantarkan langsung pulang ke hotel dengan abang ojek yang saya tumpangi, melainkan minta singgah sebentar ke Makam Habib Cikini. Alhamdulillah wa Syukrulillah, si abang tukang ojek ini manut saja dengan permintaan saya, dan kamipun menuju ke Makam Habib Cikini.
Makam Habib Cikini yang berada dibelakang Hotel Sofyan dan berdekatan dengan kali Ciliwung memiliki aura tersendiri menurut saya. Bagi sebagian orang mungkin biasa-biasa saja, tapi menurut perasaan saya Makam Habib Cikini ini punya magnet tersendiri. Habib Cikini atau selengkapnya nama dan nasab beliau Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Abdurrahman bin Husein bin Abdurrahman bin Hadi bin Ahmad Al Habsyi bin Ali bin Ahmad bin Muhammad Asadullah bin Hasan Al Turabi bin Ali bin Muhammad Al Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khala Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad Al Naqib bin Ali Al Uraidhi bin Ja'far Al Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Al Zahra binti Rasulullah Saw. Makam Habib Cikini ini konon dikatakan biasa-biasa saja, sampai kemudian pada tahun 2010 lalu pengembang perhotelan PT Cempaka Wenang Jaya akan membangun Apartemen Mutiara menteng di lokasi itu. Keajaiban terjadi ketika makam akan dibongkar. Sejumlah aliran air (dikatakan 33 mata air) memancar dari Makam Habib Cikini padahal debit air katanya saat itu tidak terlalu tinggi. Ada juga yang lebih ilmiah mengatakan bahwa itu peristiwa yang biasa saja karena dibawah Makam Habib Cikini katanya adalah aliran air Kali Ciliwung, tetapi banyak masyarakat awam yang menolak pendapat ini dengan berbagai alasan religi. Apapun alasannya, yang jelas saya bersyukur menyempatkan diri ke Makam Habib Cikini, Alhamdulillah.
Demikian sedikit yang saya dapat ceritakan, semoga di lain waktu ada lagi cerita-cerita yang lebih menarik, yang dapat saya ceritakan. Terimakasih sudah berkunjung ke blog saya.
0 komentar