22/11/2016


Ilustrasi Demonstasi Mahasiswa
Di sebuah ruang rawat inap kelas tiga berukuran 8 x 14, seorang pasien muda nampak terbaring lesu di salah satu ranjang besi yang terletak disudut ruangan itu. Matanya nanar memandangi langit-langit kamar, sesekali berkedip namun tak pernah terpejam lama. Bagian atas kepalanya dibalut kain kassa, nampaknya menutupi bekas luka yang cukup parah. Di sana juga terlihat ada jahitan di kening dan pipinya meskipun tidak lebar.

“Han, Iqbal dan kawan-kawan datang menjengukmu.” ucap seseorang mengejutkan lamunan pasien muda tadi.

Assalamu’alaikum, gimana kabarmu, Han?” tanya seseorang lainnya yang baru saja masuk dan seketika menghampiri si pasien muda yang terbaring tadi. Dengan sigap meskipun agak berat si pasien muda menyambut uluran tangan seseorang yang menanyakan keadaannya itu.

Alhamdulillah, sudah agak lumayan, Bal” jawab pasien muda tadi. Walaupun begitu kernyit di dahinya tidak dapat menyembunyikan betapa payahnya si pasien muda tadi.

“Tadi dokter yang memeriksaku sudah mengijinkanku pulang, walaupun seminggu lagi aku harus medical check up untuk memastikan kondisiku, kuatir jika ada organ dalam yang terluka” lanjut si pasien muda tadi, menjelaskan.

Si pasien muda yang terbaring sakit tadi adalah Farhan. Ia pimpinan organisasi intra kemahasiswaan di Kampus Ungu, sebutan populer oleh warga kampus untuk menyebut Universitas Kutai Kartanegara atau Unikarta. Farhan sudah terbaring sakit sejak tiga hari yang lalu setelah insiden tindakan represif oleh aparat gabungan Polri dan Satpol PP. Entah, bagaimana kejadiannya, massa gabungan yang terdiri dari organisasi intra dan ekstra kampus serta LSM penggiat transparansi keuangan daerah dan proyek lokal di Kabupaten Kutai Kartanegara ketika melakukan longmarch seketika dikejutkan oleh keributan kecil antar beberapa orang peserta longmarch dengan beberapa aparat keamanan. Keributan kecil yang seketika menjadi sporadis inilah yang membuat keributan besar. Situasi menegang dan massa pun menjadi panik. Mahasiswa terpengaruh untuk bertindak anarkis, melempar barang apa saja ke arah aparat kemanan, dari botol minuman hingga kerikil. Dilain pihak, aparat keamanan pun tersulut oleh cacian peserta aksi. Mungkin, jika hanya lemparan benda-benda tumpul masih dapat ditolerir oleh aparat karena mereka menggunakan tameng polikarbonat yang 250 kali lebih kuat dari kaca, tetapi karena etika berdemonstrasi tidak dijaga, mungkin inilah pulalah yang menyebabkan tindakan represif aparat, kala itu. Farhan sebagai salah satu koordinator lapangan aksi longmarch saat itu berupaya menenangkan massa, tetapi sabetan bertubi-tubi baton stick ke tubuhnya, entah oleh siapa, menyebabkan Farhan tersungkur, jatuh tak sadarkan diri. Setelah seharian tak sadarkan diri barulah Farhan siuman dari pingsannya dan baru menyadari bahwa tubuhnya sudah terbaring di rumah sakit, dengan balutan kassa dan jahitan di kening dan pipinya.

Perbincangan antarteman di ruang rawat inap kelas tiga itu berlanjut, hingga senja menghampiri, membiarkan mereka bercengkrama, bertukar cerita sambil menunggu putaran waktu untuk menjelang hari esok.

*****

“To, kita ke kampus, yuk. Aku ada perlu dengan Pak Awang” suara Farhan mengalihkan perhatian Anto dari gadgetnya. HP Samsung Galaxy Y jadul di tangannya itupun seketika ia abaikan demi mendengarkan arah bicara sahabat karibnya itu. Anto adalah salah satu mahasiswa di Fakultas Teknik Unikarta. Berbeda dengan Farhan sahabatnya yang kuliah di FISIP Unikarta dengan performa dan style berpakaian yang tertata dan rapi, Anto terkesan lebih simple meskipun kebersihan pakaian tetap harus dijaga. Karena bagi Anto, yang ayahnya seorang tokoh agama Islam di Muara Muntai, salah satu kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara, pakaian yang bersih meski tidak terlalu rapi pada prinsipnya tetap bisa dibawa sholat.

Kedua sahabat karib itu pun memacu sepeda motor mereka ke Kampus Ungu, dari kos mereka di Jalan Gunung Gandek ke Unikarta di Jalan Gunung Kombeng tidak sampai sepuluh menit. Kini keduanya sudah tiba di Warung Bonex-nya Pak Eko.

“Kok, ke Warungnya Pak Eko, katanya mau ketemu Pak Awang?” tegur Anto ke Farhan.

“Iya. Tadi pagi sebelum ke sini aku sudah sms dengan Pak Awang, To. Kata Pak Awang, beliau baru keluar mengajar jam 10. Nah, karena pembicaraan kami ini tidak perlu formal makanya kuajak kamu ke Warung Pak Eko, To, sambil menunggu waktu bertemu dengan Pak Awang. Kamu belum sarapan kan?” jawab Farhan, diiringi seringai Anto yang seakan berujar di hatinya betapa perhatian Farhan dengannya.

Jam 10 tepat Farhan bertemu dengan Pak Awang Mangkunegara, Dosen FISIP Unikarta di ruang kerja dosen. Lumayan banyak hal yang mereka perbincangkan tetapi hanya ada satu fokus yang menurut Farhan penting, yaitu aksi refresif aparat saat mengendalikan kericuhan ketika longmarchyang ia komandoi. Menurut Farhan tindakan refresif aparat itu diluar kendali bahkan dapat dikatakan brutal. Dampak fatalnya turut ia rasakan ketika tubuhnya remuk dihantam baton stick aparat kala itu. Mendengar keluhan Farhan Pak Awang pun menyelanya dengan pertanyaan.

“Kamu pernah mendengar istilah Paralaks, Farhan?” tanya Pak Awang Mangkunegara.

“Ya. Saya pernah mendengar istilah itu, Pak. Jika tidak salah, paralaks itu digunakan untuk menyatakan kedudukan sudut dari dua titik diam, bersifat relatif satu sama lainnya, sebagaimana suatu objek yang diamati oleh seorang pengamat yang bergerak” Farhan menjelaskan pemahamnnya.

“Iya, benar. Kurang lebih seperti itu. Tetapi sangat tepat jika dijelaskan bahwa istilah paralaks ini diartikan sebagai suatu istilah yang kerap digunakan dalam ilmu astronomi untuk menjelaskan suatu fenomena mengenai jarak benda-benda langit. Sebenarnya istilah Paralaks itu sendiri memiliki makna mengenai sudut pandang suatu subjek yang bergerak terhadap suatu obyek yang diam, namun pandangan sedemikian rupa mengalami pergeseran atau bahkan mengalami perubahan, tergantung kepada posisi maupun sudut pandang subjek yang bergerak tersebut, sehingga situasi seperti ini dapat melahirkan sudut pandang yang relatif.” Pak Mangkunegara berupaya memberikan penjelasannya terkait istilah “Paralaks” yang ia pertanyakan di awal tadi kepada Farhan.

“Dalam kaitannya dengan gejala sikap sosial di masyarakat, istilah paralaks ini dianggap relevan dengan posisi, sudut pandang maupun pemaknaan secara epistemologis terhadap gejala terjadinya proses perubahan di masyarakat, dan disebut-sebut menjadi model kritik yang bergeser dari mainstream, atau yang lazimnya, sehingga situasi ini dapat bermakna ekstrem” kata Pak Awang Mangkunegara lagi.

Pak Awang menjelaskan lagi “Saya menduga situasi yang kamu hadapi saat itu bersama teman-teman aksimu adalah situasi konflik yang muncul diakibatkan sudut pandang yang bersifat paralaks dalam memaknai gejala perubahan yang nampaknya ekstrem di tengah-tengah masyarakat kita, semisal demo anarkis yang dianggap melanggar etika demokrasi” jelasnya kepada Farhan.

Farhan yang sedari tadi menyimak penjelasan Pak Awang mencoba memahami maksud yang terkandung dalam penjelasan Pak Awang tadi. Kemudian, perbincangan pun berlanjut. Hingga waktu bergerak siang brulah keduanya mengakhir perbincangan itu, dengan kesimpulan dibenak Farhan bahwa pergerakan yang ia lakukan bersama teman-temannya dua minggu yang lalu adalah dampak dari situasi paralaks, yang jika dikaitkan dengan realitas sosial dinyatakan sebagai paralaksitas.

*****

Dua minggu sebelumnya di ruas jalan Kota Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara. Teriknya sinar mentari yang menyengat permukaan kulit tak menggoyahkan semangat mahasiswa dan berbagai elementasi yang bergabung di dalamnya untuk berarak-arak menapaki setiap jengkal dari ruas jalan ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara. Langkah mereka laksana menabuh genderang, bergemuruh, menggetarkan semangat setiap orang yang memperhatikannya. Sekitar 700-an orang peserta longmarch bergerak antusias meski peluh telah mengucur dari pori-pori kulit. Warna Ungu mendominasi pakaian peserta longmarch hari itu. Sesekali terdengar yel-yel mahasiswa ditengah orasi yang mengumandang.

“Kita semua hidup di alam demokrasi. Kita semua lahir dari rahim bangsa yang sama. Kita semua berjuang dari hasil perjuangan pendahulu kita. Mereka bersimbah darah dan meregang nyawa untuk kehidupan yang kita rasakan hari ini, yaitu perjuangan untuk meraih kemerdekaan!.” Begitu orasi seorang mahasiswa melalui corong loadspeaker-nya.

“Kemerdekaan bangsa ini dulu ditebus dengan kucuran darah para pejuang. Kemerdekaan bangsa ini pun dulu diraih melalui pengorbanan rakyat jelata yang bahu-membahu, yang merasa ditindas, dilecehkan, dan hak-hak mereka dirampas oleh keserakahan kaum penjajah. Tetapi, hari ini, ketika kita telah menikmati indahnya kemerdekaan yang telah ditebus dengan kucuran darah dan diraih dengan pengorbanan, ternyata kita kembali dijajah oleh bangsa kita sendiri. Oleh nafsu serakah anak bangsa yang berdiri di atas singgasana kekuasaan. Oleh mereka yang telah menutup mata, menyumbat telinga dan membalut hati nurani dengan ketamakan. Dan kemerdekaan kita telah tergadaikan oleh sikap pasrah kita sendiri yang hanya menerima, dan cenderung bersimpuh di bawah telapak kekuasaan” teriakan salah seorang orator yang terdengar geram.

Orator lainnya pun menyahut dengan teriakannya “Pernahkan kita merenung, menatap sepintas ke masa depan, dimana nasib kemerdekaan jiwa-jiwa kita dipertaruhkan?. Tidak mampukah kita berpandangan bahwa indahnya kehidupan terletak pada perasaan merdeka. Merdeka dari tirani kekuasaan. Merdeka dari pemaksaan kehendak atas nama pribadi dan golongan. Dan merdeka dari keserakahan anak bangsa yang terbuai oleh gelimang harta dan keagungan tahta”.

“Wahai jiwa-jiwa yang nasib kemerdekaannya dipertaruhkan. Marilah bergerak bersama kami dalam sebuah aksi perjuangan. Perlawanan yang sigap terhadap proses pembodohan dari para pemangku kekuasaan, yang telah menutup mata hati dan menyumbat telinga nurani. Teguhkan sikap, bulatkan tekad. Perkokoh barisan guna menyongsong masa depan yang lebih baik. Karena hari ini, nasib kemerdekaan jiwa kita semua dipertaruhkan” si orator menutup pembicaraannya.

Di saat orasi berlangsung tiga kompi pasukan pengamanan gabungan dari aparat Polri dan Satpol PP beralat pengamanan lengkap menghampiri kumpulan peserta longmarch siang itu. Dengan sigap mereka membentuk formasi melingkar, mengelilingi kumpulan mahasiswa yang tengah melakukan orasi. Sekelompok orang dari peserta longmarch nampaknya terpengaruh dengan gelagar aparat gabungan saat itu. Mereka mencaci, memaki, bahkan melemparkan benda apa saja ke arah pasukan pengamanan itu. Merasa disulut amarahnya, maka satu dari tiga kompi pasukan gabungan itu pun menunjukkan sikap protektif mereka. Mungkin pasukan pengamanan sudah melihat gelagat anarkis dari peserta aksi siang itu.

Pihak pengamananpun tersulut amarah. Merekapun bertindak refresif dengan dalih pengamanan kekacauan. Mereka memukul, menjambak, menendang dan berupaya sekuat tenaga untuk membubarkan aksi yang digelar pada hari itu. Seketika itu juga terjadi keributan antara peserta dengan para anggota pengamanan. Baku hantam tidak terelakkan. Banyak di antara para mahasiswa yang akhirnya berlari menghindari amukan membabi buta para anggota keamanan. Bahkan, di antara mereka ada yang tersungkur ke tanah dengan wajah lebam terkena pukulan, mengucurkan darah dari kepala, kening dan pipinya. Dia lah Farhan Koordinator Lapangan aksi siang itu, jatuh tak sadarkan diri. Siang itu aksi mahasiswa dan elementasi masyarakat dapat dibubarkan oleh aparat keamanan. sayangnya, hanya karena perbedaan pemahaman dan sudut pandang di kedua belah kelompok berbeda kepentingan, terjadi insiden yang tak diharapkan. Inilah paralaksitas, realitas kehidupan dalam masyarakat yang berbeda sudut pandang, pemehaman dan kepentingan.

0 komentar

Advertisement