Humanisme Pendidikan Islam: Relevansi Teori Ego-Insani Muhammad Iqbal dalam Pendidikan Islam
Oleh: Mubarak
Dosen Fakultas Agama Islam, Unikarta, Tenggarong
Abstrak: Pendidikan itu harus bersifat humanis. Pendidikan yang humanis adalah suatu bentuk pendidikan yang mengakui nilai-nilai kepribadian peserta didik untuk dikembangkan melalui kegiatan pendidikan. Sedangkan dalam perspektif Islam, humanisme dalam pendidikan Islam ialah proses pendidikan yang lebih memperhatikan aspek potensi manusia sebagai makhluk berketuhanan dan makhluk berkemanusiaan serta individu yang diberi kesempatan oleh Allah SWT. untuk mengembangkan potensi-potensinya. Disinilah letak urgensi pendidikan Islam sebagai proyeksi kemanusiaan (humanisasi). Pendidikan Islam yang humanis dengan demikian lebih menitikberatkan pandangannya terhadap totalitas individu sebagai obyeknya. Manusia dalam pandangan Islam adalah mahluk rasional sekaligus mempunyai nafsu kebinatangan. Sedangkan, Ilmu pengetahuan itu bersumber dari Islam sebagai petunjuk yang akan membimbing manusia di dalam kehidupannya tanpa mengabaikan fitrahnya.
Kata-kata Kunci: Pendidikan Islam, Humanisme, Ego-Insani
Pendahuluan
Pendidikan itu sejatinya mampu membina individu tidak hanya dari sekedar ilmu, melainkan juga mampu memberi bekal terhadap kandungan ilmu tersebut, yakni nilai-nilainya, sebab, pendidikan itu tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu, yakni mentransfer nilai (transfer of value). Selain itu, pendidikan juga merupakan kerja budaya yang menuntut peserta didik untuk selalu mengembangkan potensi dan daya kreativitas yang dimilikinya agar tetap survive dalam hidupnya. Karena itu, daya kritis dan partisipatif harus selalu muncul dalam jiwa peserta didik. Namun anehnya, terkadang pendidikan hanya dijadikan alat indoktrinasi berbagai kepentingan sehingga hal inilah yang menjadi akar dehumanisasi yang turut disebabkan oleh pengemasan pendidikan, pembelajaran dan pengajaran yang belum optimal seperti yang diharapkan.
Tantangan dunia pendidikan di Indonesia saat ini adalah mewujudkan proses demokratisasi belajar atau humanisme pendidikan. Pembelajaran yang mengakui hak-hak anak untuk melakukan tindakan belajar sesuai dengan karakteristiknya. Hal ini penting diketahui mengingat hal penting yang perlu ada dalam lingkungan belajar, yang dibutuhkan oleh anak didik adalah kenyataan. Suatu kesadaran yang muncul dari individu guru selaku pendidik bahwa anak didik adalah pribadi yang memiliki kekuatan di samping kelemahan, pribadi yang memiliki keberanian di samping rasa takut dan kecemasan, serta pribadi yang bisa marah di samping juga bisa bergembira.
Jika menelaah anak didik dari tinjauan kepribadiannya maka akan ditemukan kenyataan bahwa ia adalah individu yang hidup dalam hubungannya dengan lingkungan sosialnya. Pernyataan ini mengandung maksud bahwa bagaimanapun juga sebagai individu ia tidak dapat terlepas dari ikatan hubungannya dengan individu lainnya, yakni masyarakatnya. Secara kodrati ia akan selalu hidup bersama masyarakatnya dan terhubung dalam berbagai bentuk komunikasi dan interaksi. Dengan potensi yang dimilikiya ia dapat mengetahui mana perilaku yang baik dan mana yang buruk, sehingga perlu dibimbing dan dikembangkan melalui pendidikan agar tidak mengarah ke arah yang negatif.
Oleh karena itu, dunia pendidikan harus mendapat sorotan lebih agar dapat berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan anak didik serta berbagai kebutuhan lainnya. Sebab sejauh ini, masih banyak cara mendidik yang diterapkan oleh guru, yang kurang memperhatikan aspek-aspek kebutuhan perkembangan pribadi anak didiknya. Dan karenanya pula, maka pendidikan harus menjadi ajang pendewasaan sifat kemanusiaannya dan bertujuan memberikan kemerdekaan manusia untuk mempertahankan dan mencapai tujuan hidupnya.
Menurut Firdaus M. Yunus (2007: 7-8) Pendidikan berusaha membentuk sosok manusia yang dapat memberikan kontribusi bagi manusia lainnya menuju tercapainya hakikat kehidupannya sesuai dengan transfer pengetahuan yang dialaminya. Pendidikan dalam situasi ini harus mampu mengalihkan pengalaman, pengetahuan, kecakapan serta keterampilan dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai bagian dari hasil suatu perubahan dalam dunia pendidikan.
Dengan demikian maka pendidikan itu harus bersifat humanis. Pendidikan yang humanis adalah suatu bentuk pendidikan yang mengakui nilai-nilai kepribadian peserta didik untuk dikembangkan melalui kegiatan pendidikan. Sedangkan dalam perspektif Islam, humanisme dalam pendidikan Islam ialah proses pendidikan yang lebih memperhatikan aspek potensi manusia sebagai makhluk berketuhanan dan makhluk berkemanusiaan serta individu yang diberi kesempatan oleh Allah SWT. untuk mengembangkan potensi-potensinya. Disinilah letak urgensi pendidikan Islam sebagai proyeksi kemanusiaan (humanisasi).
Pendidikan Islam yang humanis dengan demikian lebih menitikberatkan pandangannya terhadap totalitas individu sebagai obyeknya. Hal ini sebagaimana Azyumardi Azra (2002: 7-8) yang menyoroti bahwa semua pengertian tentang Pendidikan Islam dari para ahli terkandung pandangan-pandangan dasar Islam berkenaan dengan manusia dan signifikansi ilmu pengetahuan. Manusia dalam pandangan Islam adalah mahluk rasional sekaligus mempunyai nafsu kebinatangan. Sedangkan, Ilmu pengetahuan itu bersumber dari Islam sebagai petunjuk yang akan membimbing manusia di dalam kehidupannya tanpa mengabaikan fitrahnya.
Dalam konteks kajian inilah, Pendidikan Islam akan menemukan akar humanismenya. Suatu celah autokritik terhadap nilai-nilai ajaran Islam yang ingin diejawantahkan dalam lingkungan pendidikan dengan pernyataan bahwa pendidikan Islam itu esensinya adalah pendidikan yang humanis. Walaupun secara menyeluruh Muhammad Iqbal lebih dikenal sebagai Filosof sekaligus Penyair Muslim, namun terdapat sisi-sisi tertentu dalam sudut pandang Muhammad Iqbal yang akan membuka kesadaran kolektif kita bahwa Islam itu adalah ajaran yang misinya diawali dengan membongkar kesadaran individu menuju ke arah penyadaran sosial. Jika hal ini dikaitkan dalam lingkup Pendidikan Islam, maka awal mula misi Pendidikan Islam itu terletak kepada upaya-upaya untuk membongkar kesadaran individu terhadap sifat dasarnya selaku manusia, potensi-potensi yang dimilikinya, fitrahnya sebagai wakil tuhan di muka bumi, dan tujuan kehidupannya.
Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot, Punjab Barat, India (sekarang termasuk wilayah Pakistan) pada 9 November 1877 M, bertepatan pada tanggal 3 Dzulqa’dah 1294. Hal ini juga diperkuat dari hasil penelitian terakhir yang mengungkapkan bahwa Muhammad Iqbal lahir pada 9 November 1877, bukan 22 Februari 1873 seperti yang dikenal selama ini (Lukman S. Thahir, 2002: 34). Iqbal merupakan keturunan dari kasta Brahmin, dari ayah bernama Muhammad Nur, seorang sufi yang zuhud dan dari ibunya bernama Imam Bibi, seorang wanita yang religius (Lukman S. Thahir, 2002: 35). Tatkala sakitnya telah merenggut suaranya dan mencapai puncak kritisnya pada 19 April 1938, seperti diceritakan Raja Hasan yang mengunjungi Iqbal pada malam hari sebelum ia meninggal, Iqbal sempat membacakan sajak terakhirnya. Sajak tersebut adalah:
Angin Hijaz kau berhembus kembali atau tidak,
Saat-saat hidupku kau berakhir,
Entah pujangga lain kau kan kembali atau tidak.
(Muhammad Iqbal, 2008: 6)
Selanjutnya, ia juga mengatakan:
Kukatakan kepadamu ciri seorang mukmin,
Bila maut datang akan merekah senyum di bibir,
Aku telah kehilangan sifat-sifat binatang dan akupun jadi orang,
Lalu mengapa aku takut menyusut pada saat ajal kematian menjemput.
(Lukman S. Thahir, 2002: 44)
Demikianlah keadaan Iqbal sewaktu menyambut kematiannya. Kemudian ia meletakkan tangannya pada jantungnya seraya berkata, “Kini, sakit telah sampai di sini.” Iqbal merintih sejenak kemudian tersenyum lalu ia pun terbang bersama garuda cita-cita humanisme religiusnya untuk kembali kepada Khaliknya. Muhammad Iqbal wafat pada tanggal 21 April 1938 pada usia 60 tahun Masehi, 1 bulan 26 hari; atau 63 tahun Hijriah, 1 bulan 29 hari (Muhammad Iqbal, 2008: 6).
Kondisi sosial dan pendidikan India saat itu dapat dikatakan sudah mengalami kemajuan dengan didirikannya lembaga-lembaga pendidikan. Adapun bahasa yang dipakai adalah bahasa Arab, Persia dan Urdu. Sedangkan bahasa asli India yaitu bahasa Urdu yang telah dipakai sejak abad ke-18, berasal dari bahasa Turki “Urdu”. Bahasa Urdu juga dipakai dalam lingkungan pendidikan, terbukti beberapa intelektual India menggunakannya dalam sebagian karya-karya mereka.
Muhammad Iqbal memulai pendidikannya pada sebuah Maktab untuk mengikuti pelajaran Alquran dan menghafalkannya serta menerima pendidikan Islam lainnya secara klasik di tempat tersebut. Pendidikan formal Iqbal dimulai di Scottish Mission School di Sialkot. Ia mendapat pengaruh dari seorang guru yang sangat inspiratif yaitu Sayyid Mir Hasan, seorang ahli dalam bahasa Persia dan Arab (Lukman S. Thahir, 2002: 34). Setelah menyelesaikan pendidikannya di Sialkot, pada tahun 1895 Muhammad Iqbal hijrah ke Lahore untuk melanjutkan studinya di Governtment College sampai ia berhasil memperoleh gelar B.A pada tahun 1897 kemudian ia mengambil program Masters of Arts (MA) pada bidang filsafat pada tahun 1899. Di masa kuliahnya di Governtment College inilah Iqbal mendapat bimbingan langsung dari seorang Orientalis bernama Thomas Arnold, yang pada waktu itu menjadi dosen di Governtment College, Lahore (Lukman S. Thahir, 2002: 35). Pada bulan Mei 1899, beberapa bulan setelah Iqbal meraih gelar master dalam bidang filsafat ia ditunjuk sebagai salah seorang asisten pengajar bahasa Arab di Macleod-Punjab Reader of Arabic, University Oriental Collage, Lahore. Kemudian pada tahun 1905 ia meninggalkan Lahore dan hijrah menuju Eropa tepatnya di Inggris atas dorongan dan bimbingan Thomas Arnold untuk melanjutkan studinya. Iqbal masuk di Trinity Collage di Cambridge dimana ia berhubungan dengan dua orang tokoh terkenal Neo-Hegelian, yaitu Mac Taggart dan James Ward (Lukman S. Thahir, 2002: 36-38). Akhirnya, pada tahun 1908 Iqbal berhasil meraih gelar Ph.D (Doktor) dalam bidang filsafat pada Universitas Munich, Berlin, di Jerman dengan disertasi berjudul “The Development of Metaphysics in Persia” (Perkembangan Metafisika di Persia). Dan ketika disertasinya diterbitkan, ia persembahkan karyanya itu kepada Thomas Arnold (Lukman S. Thahir, 2002: 38).
Muhammad Iqbal merupakan orang yang sangat produktif, karya-karyanya yang digunakan dalam mengekspresikan gagasan-gagasannya ada dalam beberapa bahasa, ada yang ditulisnya dalam bahasa Inggris, bahasa Arab, ada pula yang menggunakan bahasa Urdu dan Persia. Sebagian besar karya-karya Iqbal telah di alih bahasakan ke berbagai bahasa, diantaranya ke dalam bahasa Jerman, Inggris, Perancis, Arab, Rusia, Italia dan lain-lain. Sedangkan Iqbal sendiri menguasai beberapa bahasa, selain bahasa Urdu dan Persia, beliau juga menguasai dengan baik bahasa Inggris, Jerman, Perancis, bahasa Arab dan Sangsekerta.
Selama ini karya-karya dan tulisan-tulisan Iqbal dikenal lebih banyak yang bercorak sastra daripada filsafat, namun yang menarik disini adalah bahwa di setiap karyanya yang berbentuk sastra itu sesungguhnya tercantum pemikiran-pemikiran filsafatnya. Beberapa dari karya-karya Muhammad Iqbal antara lain: The Development of Metaphysics in Persia, Bang-I-Dara, Asrar-I-Khudi, Rumuz-I-Bekhudi, Payam-I Masyriq, Zabur-I-‘Ajam, Javed Namah, The Reconstruction Of Religious Thought In Islam, serta tulisan yang tidak terselesaikan oleh Iqbal berjudul The Reconstruction of Muslim Jurisprudence (Muhammad Iqbal, 2008: 8).
Pandangan Muhammad Iqbal tentang Ego-Insani.
Muhammad Iqbal dikalangan Muslimin pada masa sekarang ini bukanlah nama yang asing. Ia dikenal terutama sebagai cendikiawan muslim yang berhasil memadukan kemampuan pemikiran dan kepenyairan sekaligus. Tidaklah mengherankan jika orang menyebutnya sebagai pemikir yang penyair atau penyair yang pemikir. Kenyataannya, baik sebagai penyair maupun sebagai pemikir, ia telah mewariskan suatu karya filsafat yang hingga kini masih sulit dicarikan bandingannya.
Salah satu hasil pemikiran Muhammad Iqbal sekaligus menjadi dasar filsafatnya adalah teori Ego-Insani yang mewarnai corak Humanismenya. Teori Ego-Insani ini menurut Muhammad Iqbal berpondasi kepada tiga pilar yang diinterpretasi dari ayat Alquran (Muhammad Iqbal, 2008: 163), yakni:
2. Manusia, dengan kesalahan-kesalahannya, dimaksudkan menjadi wakil Tuhan di atas bumi.
3. Manusia adalah kepercayaan suatu pribadi yang merdeka, yang diterima dengan menginsafi resiko yang akan ditanggungnya.
Adapun ayat Alquran yang menjadi dasar bagi ketiga pilar di atas, adalah :
1. Surah Thaahaa (20) Ayat 122.
Artinya : "kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk".
2. Surah Al Baqorah (2) Ayat 30 dan Surah Al An’am (6) Ayat 165.
Artinya: "ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Artinya: "dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
3. Surah Al Ahzab (33) Ayat 72.
Artinya: "Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh."
Pembahasan mengenai Ego-Insani oleh Muhammad Iqbal diurai dalam konteks berpikir yang dialektik, bahwa Ego-Insani itu adalah suatu fakta yang tidak dapat dibantah, yang dalam ketakterbatasannya adalah suatu yang tidak sempurna sebagai suatu kesatuan yang lebih padat, lebih efektif, lebih seimbang dan unik (Muhammad Iqbal, 2008: 167-168). Ia berpandangan bahwa Ego menyatakan dirinya sendiri sebagai suatu kesatuan dari keadaan-keadaan mental yang tidak berdiri sendiri-sendiri sebagai isolasi satu sama lain, yang berjalin dan memberi arti satu sama lain, yang berdiri sebagai fase-fase dari suatu keseluruhan yang rumit, tetapi kesatuan organik dari kejadian yang saling menghubungi, yang mempunyai bentuk tersendiri (Muhammad Iqbal, 2008: 168). Namun, menurut Muhammad Iqbal, Ego tidaklah terikat pada ruang jasamani saja melainkan keberlangsungan waktu Ego dipusatkan dan dihubungkan dengan masa kini dan masa depan secara unik (Muhammad Iqbal, 2008: 169). Dengan demikian, maka Ego-Insani dalam pandangan Muhammad Iqbal adalah entitas nyata sebagai kesatuan dari keadaan mental yang tidak berdiri sendiri tetapi kesatuan organik dari kejadian-kejadian yang saling menghubungi dan terpusat serta dihubungkan antara masa kini dan masa depan. Ini adalah karakteristik pertama Ego-Insani menurut pandangan Muhammad Iqbal.
Selanjutnya, karakteristik Ego-Insani yang kedua adalah ulahnya atau kesendiriannya yang esensial. Menurut Muhammad Iqbal, kepribadian yang sejati bukanlah suatu benda tetapi suatu tindakan. Pengalaman hanyalah suatu deretan tindakan-tindakan, yang satu sama lain saling berhubungan, dan seluruhnya diikat oleh suatu tujuan yang bersifat memimpin (Muhammad Iqbal, 2008: 175). Mengenai pernyataan Muhammad Iqbal ini Alquran secara jelas membahasnya dalam Surah Al-Israa (17) Ayat 84 - 85 , berbunyi:
Artinya: "Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalanNya. dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.".
Selain itu, ia juga berpendapat bahwa badan dan jiwa adalah dua hal yang independen satu sama lain, tetapi merupakan hal-hal yang bersatu dengan suatu cara yang ghaib (Muhammad Iqbal, 2008: 177). Ego memerlukan unsur bimbingan dan kontrol dalam kegiatannya yang secara jelas menunjukkan bahwa Ego adalah suatu kausalitas personal yang merdeka. Ego ikut menghayati kehidupan dan kemerdekaan Ego Terakhir, yang dengan membiarkan munculnya, Ego terbatas mempunyai prakarsa sendiri serta telah membatasi kemerdekaan tata laku kesadaran (Muhammad Iqbal, 2008: 182).
Pandangan Muhammad Iqbal ini secara tersirat merupakan karakteristik ketiga dari Ego-Insani, yaitu integrasi jasmani dan rohani yang sama-sama berdiri secara independen namun disatukan oleh faktor di luar kekuasaan Ego-Insani, dimana ia membutuhkan bimbingan dan kontrol. Alquran turut berpandangan terkait persoalan ini di dalam:
1. Surah Al Kahfi (18) Ayat 29.
Artinya : "dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek."
2. Surah Al Isra (17) Ayat 7.
Artinya : "jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai."
Karakteristik keempat dari Ego-Insani menurut Muhammad Iqbal adalah Ego terbatas akan mendekati Ego Tak Terbatas untuk melihat sendiri akibat-akibat perbuatannya di masa lampau serta mempertimbangkan perbuatan-perbuatannya di masa depan, secara individual (Muhammad Iqbal, 2008: 194). Mengenai pernyatannya di atas Muhammad Iqbal dengan sangat indahnya merangkaikan kata-kata yang dapat mengembalikan kesalehan profetik manusia ke dalam fitrahnya (Muhammad Iqbal, 2008: 195), sebagai berikut:
Betapapun juga nasib terakhir manusia, baginya tidak ada pembebasan sepenuhnya dari keterbatasan sebagai tingkat tertinggi kebahagiaan manusia “Berkah yang tak terputus” kepada manusia berupa pertumbuhannya yang setapak demi setapak dalam pemeliharaan diri (penguasaan diri), dalam keunikan, dan dalam intensitas kegiatannya sebagai suatu ego. Bahkan adegan “Penghancuran Semesta” yang langsung mendahului Hari Pertimbangan tak akan bisa mempengaruhi perasaan tenang suatu Ego yang telah tumbuh sepenuhnya.
Muhammad Iqbal juga mengutip pernyataan Alquran di dalam Surah Az Zumar (39) Ayat 68, sebagai berikut :
Artinya : "dan ditiuplah sangkakala, Maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi Maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing)."
Terkait ayat di atas, Muhammad Iqbal mencermati kalimat “kecuali siapa yang dikehendaki Allah” (Muhammad Iqbal, 2008: 195-196) dengan ucapan:
Siapakah yang merupakan kekecualian ini kalau bukan yang telah mencapai titik tertinggi intensitas Egonya? Dan puncak perkembangan ini bisa dicapai apabila Ego sanggup memelihara penguasaan diri sepenuhnya, meskipun di dalam perhubungan langsung dengan Ego yang merangkum segala.... Ini adalah cita-cita sifat manusia yang sempurna dalam Islam.
Ucapan di atas adalah kata kunci dalam pembahasan Ego-Insani menurut pandangan Muhammad Iqbal yang pada ujungnya akan melahirkan perspektif Insan Kamil sebagai sebuah teori dalam Humanisme Islam Muhammad Iqbal.
Terakhir, karakteristik kelima dari Ego-Insani menurut Muhammad Iqbal adalah nilai keabadian Ego-Insani. Menurutnya, kodrat Ego terbatas terletak dalam intensitas bahwa Ego terbatas haruslah berbeda meskipun tidak terpisah dari Ego Yang Tak Terbatas. Ego akan dapat ikut memberi arti kepada alam semesta hanya sebagai suatu ego yang senantiasa tumbuh dan menyelamatkannya dari kesia-siaannya dengan tindakan (Muhammad Iqbal, 2008: 196-197). Mengenai pernyataannya ini Muhammad Iqbal mengutip Alquran Surah Al Mulk (67) Ayat 1-2 berbunyi :
Artinya : "Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun".
Dengan demikian nilai keabadian Ego-Insani adalah tindakan. Menurut Muhammad Iqbal (2008: 198):
Kehidupan memberikan kesempatan untuk kegiatan Ego dan ajal adalah ujian pertama untuk kegiatan sintetis dari Ego. Tidak ada tindakan-tindakan yang menyenangkan dan yang menyakitkan; yang ada hanyalah tindakan-tindakan mempertahankan Ego dan meluluhkan Ego. Asal perbuatanlah yang mengakibatkan kehancuran Ego, atau menyiapkannya untuk kerja selanjutnya.
Demikianlah pandangan Ego-Insani menurut Muhammad Iqbal yang sekaligus menjadi teori humanismenya. Dalam kumpulan puisi Asrar-I-Khudi (Rahasia Pribadi), Muhammad Iqbal (2008: 329) menuliskan:
Bila ke-Pribadi-an bangkit mengatasi kesadaran
Diwujudkannya dunia ide dan pikiran sejatiRatusan alam melingkup dalam intisarinya
Mewujudkan dirimu melahirkan yang bukan pribadimu
Kepribadian menyemaikan bibit kehendak di atas dunia
Pertama dia dianggap dirinya itu bukan dirinya
Dari dirinya dilahirkannya berjenis-jenis bentuk lain
Agar menambah warna-warni kenikmatan perjuangan....
Pada bagian lain ia juga menuliskan:
Hidup ini dikekalkan oleh tujuan
Karena tujuan pula maka genta kafilah berbunyi
Hidup terpendam dalam pencarian
Asalnya tersembunyi dalam gairah
Nyalakan gairahmu dalam hati riang gembira....
(Muhammad Iqbal, 2008: 332)
Berdasarkan seluruh uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Ego-Insani menurut Muhammad Iqbal memiliki lima karakteristik, yakni:
1. Ego-Insani adalah entitas nyata sebagai kesatuan dari keadaan mental yang tidak berdiri sendiri tetapi kesatuan organik dari kejadian-kejadian yang saling menghubungi dan terpusat serta dihubungkan antara masa kini dan masa depan.
2. Kekhasan Ego-Insani adalah ulahnya atau kesendiriannya yang esensial.
3. Ego-Insani adalah integrasi jasmani dan rohani yang sama-sama independen namun disatukan oleh faktor di luar kekuasaannya.
4. Ego-Insani adalah Ego terbatas yang akan mendekati Ego Tak Terbatas untuk melihat sendiri akibat-akibat perbuatannya di masa lampau serta mempertimbangkan perbuatan-perbuatannya di masa depan, secara individual.
5. Ego-Insani memiliki nilai keabadian.
Kelima karakteristik tersebut adalah gambaran bagi manusia sebagai suatu Ego, sebab di antara ciptaan Tuhan hanya manusialah yang mampu mencapai tingkat kedirian tertinggi dan yang paling sadar akan realitasnya. Dengan demikian maka kelima karakteristik Ego-Insani dalam pandangan Muhammad Iqbal di atas akan menjadi landasan dasar filsafat Muhammad Iqbal bagi upaya menumbuhkan konsep Pendidikan Islam Humanis dalam perspektif pemikirannya.
Pandangan Muhammad Iqbal mengenai Pendidikan Islam Humanis.
Muhammad Iqbal adalah salah satu tokoh besar ummat Islam dalam khazanah kebudayaan. Meskipun ia lebih terkenal sebagai seorang penyair, pujangga, dan filsuf besar abad 20 namun ia juga memiliki perhatian besar pada pendidikan Islam. Ia adalah saksi dari zamannya dimana negerinya saat itu sedang dalam titik terendah, dimana masyarakatnya sedang dalam keadaan terjajah, miskin dan terbelakang (Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, 2011: 127).Untuk memperoleh gambaran utuh tentang Muhammad Iqbal, latarbelakang yang paling memberikan petunjuk adalah keadaan dunia Islam di India abad kesembilanbelas. Pada tahun 1857 Inggris berhasil menguasai politik India sepenuhnya. Secara formal pemerintahan beralih ke tangan Inggris setelah berhasil membubarkan Persekutuan Hindia Timur (The East India Company), sebuah persekutuan dagang dibawah Kerajaan Mughal, yang berdiri sejak 31 Desember 1689. Dengan demikian, berakhir pula kekuasaan Emperor Islam terbesar di India, yakni Kerajaan Mughal (dinisbahkan kepada Timurlenk dari Mongol). Kejatuhan Kerajaan Mughal ini turut menjadi penyebab kemunduran ummat Islam di India (Lukman S. Thahir, 2002: 17). Tekanan keras Inggris terhadap ummat Islam yang menentangnya membuat ummat Islam tertinggal jauh daripada ummat Hindu yang banyak memanfaatkan kebaikan-kebaikan Inggris. Selain itu, ummat Islam di India sudah tidak lagi mempraktekkan ajaran Islam yang murni melainkan telah bercampur dengan paham dan tarekat sufi (Lukman S. Thahir, 2002: 18).
Fenomena sufistik turut memberi indikasi lemahnya daya progresivitas, kreatifitas serta semangat hidup dinamis di kalangan ummat Islam India dengan ciri pokok ajarannya yang memusatkan perhatian pada upaya pendekatan dan penyatuan diri dengan Tuhan serta menafikan aspek keduniawian (Lukman S. Thahir, 2002: 21). Tampilnya Muhammad Iqbal dalam panggung sejarah ummat Islam India turut memberi kontribusi terhadap pembangunan kembali semangat hidup dinamis ummat Islam di negaranya.
K.G. Saiyidain (1938) di dalam tulisannya Iqbal’s Educational Philoshophy, sebagaimana dikutip Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus (2011: 127) menyebutkan bahwa pendidikan bagi Muhammad Iqbal adalah suatu keseluruhan daya budaya yang mempengaruhi kehidupan perorangan maupun kelompok masyarakat, yang meliputi prinsip dasar: konsep individualitas, pertumbuhan individualitas, keserasian jasmani dan ruhani, individu dan masyarakat, evolusi kreatif, peranan intelek dan intuisi, pendidikan watak, tata kehidupan sosial Islam, adalah suatu pandangan kreatif tentang pendidikan. Dengan demikian, kesimpulan K.G. Saiyidain ini merupakan bukti bahwa pemikiran filosofis Muhammad Iqbal dapat diimplementasikan dalam ranah pendidikan sebagai sandaran filosofis.
Mengenai struktur Pendidikan Islam Humanis Muhammad Iqbal berdasarkan beberapa literatur yang ada dapat ditampilkan sebagai berikut:
1. Kesadaran individu muslim
2. Integrasi nilai spiritual, intelektual dan moral
3. Penumbuhan karakteristik Insan Kamil
4. Prakarsa dan Karya
5. Tujuan masa depan
Kelima struktur Pendidikan Islam Humanis perspektif Muhammad Iqbal di atas diuraikan dalam pembahasan berikut.
1. Kesadaran Individu Muslim
Muhammad Iqbal menganggap bahwa manusia sebagai individu adalah entitas nyata dan paling esensial. Ia adalah suatu kesatuan dari keadaan mental yang tidak berdiri sendiri melainkan kesatuan organik dari kejadian-kejadian yang saling menghubungi dan terpusat. Ia dihubungkan oleh masa kini dan masa depan agar dapat menempatkan kehadirannya di muka bumi sebagai pilihan, sebagai wakil Tuhan untuk memakmurkan bumi, serta sebagai pribadi yang merdeka, yang dapat menginsafi resiko yang akan ditanggungnya.
Dalam perspektif pendidikan Islam Humanis menurut Muhammad Iqbal pendidikan Islam seharusnya menjadi proses penyadaran manusia bahwa setiap manusia dibekali Tuhan kemampuan yang sama untuk memikirkan dunia yang baru dan kemampuan yang sama untuk menggali ubah “apa adanya” menjadi “apa yang seharusnya”, dengan cara meningkatkan khudi menjadi individualitas yang unik dan luas jangkauannya untuk menggali dan mengendalikan lingkungan (Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, 2011: 136). Dalam tinjauannya ini, Muhammad Iqbal (2008: 203) berpendapat:
Hidup adalah satu dan terus menerus. Manusia senantiasa bergerak maju untuk selalu menerima cahaya yang baru dari suatu Realitas Yang Tak Terbatas, yang “setiap saat muncul sebagai kemegahan yang baru”. Dan sang penerima cahaya ilahiyah itu bukanlah hanya seorang penerima yang pasif belaka. Setiap tindakan Ego yang merdeka menciptakan suatu situasi baru, dan dengan demikian memberikan kemungkinan selanjutnya untuk kerja kreatif.
Disamping itu Muhammad Iqbal menunjukkan kesadaran yang sungguh dan tangguh terhadap peranan pengetahuan yang menurutnya menuntut eksprimen dalam dunia modern ini (Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, 2011: 137). Pendapat Muhammad Iqbal (2008: 213) terhadap hal ini adalah:
... untuk tujuan ilmu, jiwa kebudayaan Islam itu diarahkan pada yang kongkret, yang terbatas. Yang lebih nyata lagi bahwa lahirnya metode observasi dan eksprimen dalam Islam bukan karena suatu kompromi dengan pemikiran Yunani, tetapi karena adanya pergulatan intelektual yang lama sekali dengan pemikiran itu.
Menurut Earle H. Waugh dan Frederick M. Denry (2001: 92) Muhammad Iqbal menulis puisi besarnya “Javed Namah” yang diperuntukkan kepada anaknya (Javed Iqbal) sebagai simbol generasi muslim yang belum lahir. Dalam puisi ini ia mendorong kaum muda muslim untuk berdialog dan secara serius bergumul dengan pemikiran-pemikiran modern. Menurutnya, kaum muslim harus mempelajari realitas dunia, secara hakikat dan sejarahnya, dan harus bergelut secara intelektual dalam terma-terma tersebut sesuai dengan tantangan yang datang dari realitas.
Sebagai penutup pembahasan pada bagian ini, Abdul Munir Mulkhan (2002: 71) memiliki pandangan yang sejalan dengan Muhammad Iqbal bahwa kesadaran individu muslim itu seharusnya menjadi ide yang harus tampak jelas dalam pendidikan Islam. Menurutnya:
Fokus utama pendidikan diletakkan pada tumbuhnya kepintaran anak yaitu kepribadian yang sadar diri atau kesadaran budi sebagai pangkal dari kecerdasan kreatif. Dari akar kepribadian yang sadar diri atau suatu kualitas budi luhur inilah seorang manusia bisa terus berkembang mandiri di tengah lingkungan sosial yang terus berubah semakin cepat (Abdul Munir Mulkhan, 2002: 71)
Integrasi Nilai Spiritual, Intelektual dan Moral
Kesatuan antara nilai spiritual, intelektualitas dan moral adalah bagian penting dalam struktur pemikiran Pendidikan Islam Humanis menurut Muhammad Iqbal. Dalam sudut pandang ini Muhammad Iqbal tidak menganggap ilmu pengetahuan sebagai tujuan dari proses pendidikan, sebaliknya ia melontarkan peringatan dan kecaman terhadap konsepsi pendidikan yang terlalu bersifat intelektualistis tanpa memperhatikan keseimbangan di dalamnya. Ia mengajukan pandangan yang seimbang, yang memberikan bobot yang seimbang pula bagi komponen-komponen pengalaman, kognitif, afektif dan psikomotorik yang menyulam jalinan serasi dalam pembinaan kepribadian muslim (Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, 2011: 138).
Mengenai hal ini Muhammad Iqbal (2008: 278) mengatakan:
Tapi pengalaman menunjukkan bahwa kebenaran yang menjelma melalui akal semata tidak dapat memberikan nyala keyakinan yang benar-benar hidup, yang hanya dapat diberikan oleh ilham batin perseorangan saja. Itulah sebabnya pikiran semata sedikit sekali pengaruhnya terhadap manusia, sedang agama dapat selalu mengangkat individu, dan mengubah seluruh masyarakat.
Muhammad Iqbal sepenuhnya menghargai peranan intelek dan pencarian ilmu pengetahuan dalam rangka menghadapi berbagai hambatan yang dihadapi di alam semesta. Muhammad Iqbal beranggapan bahwa penguasaan alam semesta melalui pengetahuan masih mempunyai makna yang lebih dalam lagi, yaitu merupakan ibadat kepada Tuhannya (Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, 2011: 138-139). Di sisi lain, Muhammad Iqbal mengakui bahwa kebaikan itu bukan sekedar sesuatu yang didorongkan dan dipaksakan, melainkan suatu penyerahan diri yang tulus bebas kepada citra susila dan hanya timbul dari kesediaan Ego untuk berpartisipasi. Dengan demikian maka kebebasan merupakan prasyarat mutlak untuk menuju kebaikan (Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, 2011: 139). Berdasarkan pandangan di atas maka dalam struktur Pendidikan Islam Humanis Muhammad Iqbal dibutuhkan suatu integrasi antara nilai spiritual, intelektual dan moral dari dalam diri individu, yang sekaligus menunjukkan kebebasannya.
3. Penumbuhan Karakteristik Insan Kamil
Dalam ranah pendidikan Islam Humanis Muhammad Iqbal, penumbuhan karakteristik Insan Kamil menjadi salah satu bagian dalam strukturnya. Untuk menuju ke arah ini perlu diketahui terlebih dahulu tipe manusia seperti apakah yang hendak ditangani, sebab pada akhirnya, setiap tata nilai suatu teori pendidikan tergantung dari kualitas dan watak manusia ideal yang digariskannya. Usaha untuk menuju kepada predikat Insan Kamil setidaknya dapat dilakukan melalui dua cara, yakni:
a. Cara hidup yang penuh usaha dan perjuangan; serta
b. Belajar menerapkan intelegensi secara meningkat terus dalam rangka proses penjelajahan dan pengendalian daya dan kekuatan alam, sambil mengembangkan dan menambah pengetahuan dan kekuatannya sendiri.
Usaha menuju predikat Insan Kamil dengan kedua konsep di atas menurut Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus (2011: 140) adalah upaya “manusia ideal” menurut pandangan Muhammad Iqbal, dimana cara hidup itu dapat diraih dengan langkah-langkah:
a. Tidak memencilkan diri sendiri
b. Tidak menghiasi diri dengan kemalasan, dan
c. Tidak memandang segala masalah serba enteng.
Sedangkan dalam rangka belajar menerapkan intelegensi secara meningkat terus dalam rangka proses penjelajahan dan pengendalian daya dan kekuatan alam, sambil mengembangkan dan menambah pengetahuan dan kekuatannya sendiri, Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus (2011: 141) menjelaskan bahwa tanpa pengembangan intelek secara optimal manusia akan tetap menjadi permainan berbagai kekuatan lingkungan sekitar. Dan, intelek dapat dimanfaatkan secara konstruktif bagi peningkatan martabat umat manusia apabila dikontrol dan dibimbing oleh cinta.
Cinta (‘isyq) yang dimaksudkan di sini adalah semangat regenerasi dari alam semesta (universal) yang mengungkapkan misteri demi misteri kehidupan yang cenderung mempertuhankan akal dan nafsu. Bentuk tertinggi dari cinta yang dipahami oleh Muhammad Iqbal ini adalah penciptaan nilai-nilai dan cita-cita serta usaha keras untuk mewujudkan individualitas yang paling unik, mengindividualkan sang pencari dan termasuk individualitas dari yang dicari, sebab, tiada sesuatu pun yang akan memuaskan kodrat sang pencari (Lukman S. Thahir, 2002: 70). Sedangkan ciri-ciri Insan Kamil yang akan ditumbuhkan dalam ranah Pendidikan Islam Humanis, seperti yang disebutkan Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus (2011: 146) adalah:
Bagi Iqbal, ciri-ciri Insan Kamil ini : (a) Manusia yang siap menjadikan dirinya seolah-olah seperti Tuhan, dengan menjelmakan sifat-sifat Tuhan dalam dirinya; (b) Manusia yang memposisikan dirinya secara proporsional bahwa eksistensinya adalah sebagai wakil Tuhan (khalifah Allah) yang berkewajiban mengolah, menata dan memberdayakan bumi; (c) Insan Kamil adalah poros (pusat) sesungguhnya dari daya ruhani, dan kesejahteraan, kedamaian, serta keselamatan dunia tergantung kepadanya. Daya ruhani ini bagi Iqbal harus dihiasi oleh akidah dan nilai-nilai Islamiyah.
Bagi seorang muslim, Muhammad Iqbal menunjukkan langkah-langkah kongkret untuk menuju predikat Insan Kamil (Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, 2011: 147-148), yaitu:
a. Penguasaan diri sendiri.
Penguasaan diri berarti menyadari akan kemampuan diri dan berusaha mengaktualisasikan dan mengarahkan pada kreasi yang konstruktif.
b. Ketaatan kepada syariat.
Ketaatan kepada syariat berarti menaati syariat Tuhan yang diumpamakan seperti seekor unta yang berjalan dengan sabar, tanpa keributan dan menahan beban yang berat. Ketaatan kepada syariat ini membutuhkan perjuangan (jihad).
c. Mewujudkan fungsi kekhalifahan Ilahi
Mewujudkan fungsi kekhalifahan Ilahi berarti mengemban tugas kekhalifahan pada segi fisik dan spiritual. Dalam mengemban misi dan tugas kekhalifahan ini, baik pada segi fisik maupun spiritual, seluruh daya upaya diarahkan kepada penyatuan pikiran, imajinasi, perasaan, kehendak dan kerja kreatif di tengah-tengah umat manusia untuk kemaslahatan.
Berdasarkan pandangan di atas maka dalam struktur Pendidikan Islam Humanis Muhammad Iqbal Penumbuhan karakteristik Insan Kamil menuntut usaha-usaha kreatif dalam diri manusia yang dilakukan secara meningkat dan terus-menerus.
4. Prakarsa dan Karya
Bagian keempat dalam struktur Pendidikan Islam Humanis menurut Muhammad Iqbal adalah prakarsa dan karya. Pembahasan pada bagian ini diawali oleh pemahaman terhadap kepekaan Ego-Insani dalam berinteraksi dengan lingkungannya sebagai suatu tegangan yang menyebabkan Ego hidup dinamis (Lukman S. Thahir, 2002: 81). Menurut Muhammad Iqbal (2008: 174):
Kehidupan Ego adalah semacam tegangan yang disebabkan oleh menyerbunya Ego ke dalam suatu lingkungan dan menyerbunya lingkungan ke dalam Ego. Ego tidak berdiri di luar arena pertempuran itu. Ego hadir di dalamnya sebagai suatu tenaga yang memberi pimpinan dan ia dibentuk serta mendapat disiplin karena pengalamannya sendiri.
Muhammad Iqbal (2008: 175) juga menyatakan:
... kepribadian saya yang sejati bukanlah suatu benda, tetapi suatu tindakan. Pengalaman saya hanyalah suatu deretan tindakan-tindakan, yang satu sama lain saling berhubung, dan seluruhnya diikat oleh suatu tujuan yang bersifat memimpin. Realitas saya secara keseluruhan terletak pada sikap saya yang mengarah.
Dalam struktur Pendidikan Islam Humanis menurut Muhammad Iqbal, prakarsa dan karya menempati kedudukan nyata dalam upaya mewujudkan kenyataan Ego-Insani. Prakarsa terbentuk karena adanya pengalaman-pengalaman intuitif sedangkan karya adalah wujud nyata dari perbuatan manusia. Oleh karena itu menurut Muhammad Iqbal (2008: 21) Alquran adalah kitab yang lebih mengutamakan amal (karya) ketimbang gagasan (prakarsa).
Menurut Lukman S. Thahir (2002: 83) dalam hal karya Muhammad Iqbal berpendapat bahwa perbuatan yang memiliki tujuan memberikan gambaran bahwa tingkah laku setiap pribadi akan kembali kepada kepercayaannya. Menurutnya, kepercayaan terhadap kebaikan adalah sesuatu yang asasi dan hakiki, yang akan memberikan kesatuan tujuan terhadap perbuatan-perbuatan. Selain itu, Muhammad Iqbal juga menyadari bahwa kemacetan umat Islam atau kegiatan-kegiatan mereka dalam bidang-bidang yang tak ada gunanya disebabkan oleh kenyataan bahwa ummat Islam sudah berhenti mengambil inspirasi dari satu-satunya sumber ini. Apabila kemanusiaan diletakkan pada jejak yang benar maka ia harus disadarkan terhadap tenaga yang memimpin, cara kerjanya, sifat bimbingannya hanyalah suatu perwujudan yang dapat memerangi wujudnya dan mengangkatnya pada ketinggian yang sesuai dengan manusia (Lukman S. Thahir, 2002: 83-84).
Melalui pembahasan pada bagian ini, Muhammad Iqbal menyampaikan salah satu sudut pandang Pendidikan Islam Humanis, bahwa karya lebih bernilai dibanding prakarsa, namun tanpa ada prakarsa tidak mungkin terbentuk suatu karya. Karya yang bernilai menurut Muhammad Iqbal adalah perbuatan yang dilandasi oleh kepercayaan kepada kebaikan yang esensi dan hakiki, sehingga suatu karya yang bertujuan, yang terbentuk di atas pondasi kepercayaan terhadap kebaikan dinilai lebih tinggi kedudukannya bagi manusia.
5. Tujuan Masa Depan
Muhammad Iqbal (2008: 194) menyatakan bahwa Ego terbatas akan mendekati Ego Tak Terbatas untuk melihat sendiri akibat-akibat perbuatannya di masa lampau serta mempertimbangkan perbuatan-perbuatannya di masa depan, secara individual. Pernyataan ini memberi indikasi terhadap adanya orientasi dalam tinjauan Pendidikan Islam Humanis yang mengarah kepada masa depan umat manusia melalui pendekatan spiritual dan relijius.
Menurut Muhammad Iqbal (2008: 304):
... pencarian Ego bukanlah pembebasan dari pembatasan-pembatasan individualistis, tetapi sebaliknya suatu definisi yang lebih tepat untuk dirinya. Tindakan terakhir bukanlah tindakan intelektual, melainkan suatu tindakan vital yang memperdalam seluruh wujud Ego, serta mempertajamnya. Kemauannya dengan keyakinan kreatif, bahwa dunia ini bukanlah sesuatu yang hanya dilihat atau dikenal melalui konsep demi konsep, melainkan sesuatu yang harus dibangun kembali dengan kerja yang tak putus-putusnya. Inilah saat kebahagiaan tertinggi dan juga percobaan terbesar bagi Ego.
Menjelaskan pernyataan di atas dalam bingkai Pendidikan Islam Humanis Muhammad Iqbal, Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus (2011: 148-149) menuliskan tentang keyakinan kreatif bahwa dunia sebagai sesuatu yang harus dibangun kembali dengan kerja yang tak putus-putus, melalui ungkapan berikut:
... bahwa sebagai khalifah, seorang mukmin harus berada di tengah-tengah umat manusia. Berada dalam lingkungan sosialnya sebagai motivator dan penuntun sesama manusia. Seorang mukmin tidak boleh mengambil sikap uzlah (memisahkan diri) dari lingkungan sosial. Namun, juga tidak boleh larut dalam lingkungan sosial yang menghilangkan individualitasnya.
Melalui ungkapan di atas Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus nampaknya ingin menyentuh pemahaman bahwa tujuan masa depan dalam bingkai Pendidikan Islam Humanis Muhammad Iqbal adalah kerja kreatif dari manusia untuk lingkungan sosialnya, bukan sikap pengasingan diri dari lingkungan sosial. Sedangkan mengenai tujuan masa depan dalam pandangan Pendidikan Islam Humanis Muhammad Iqbal, Lukman S. Thahir (2002: 86) mengutip pernyataan H.H. Bilgrami yang menyebutkan bahwa Muhammad Iqbal berseru untuk meyakinkan ummat bahwa rahasia rahmat kehidupan yang sesungguhnya terletak dalam amal yakni bekerja dan berjuang, sehingga dunia sekarang dan dunia yang akan datang bukanlah hak yang diwariskan dari suatu bangsa atau orang, akan tetapi bahwa rahmat mereka itu adalah diperoleh dengan perbuatan.
Terkait dengan tujuan masa depan dalam pandangan Pendidikan Islam Humanis Muhammad Iqbal pula, Earle H. Waugh dan Frederick M. Denry (2001: 105-106) menyebutkan bahwa ajakan Muhammad Iqbal untuk membangun masa depan yang lebih baik mengasumsikan bahwa manusia dapat melakukan sesuatu yang lebih baik dari apa yang sudah dilakukannya bila mereka mau bekerja dengan menggunakan nalar dalam sinaran iman. Ia lebih jauh berpandangan bahwa pola budaya yang paling baik adalah yang dapat mendorong tumbuhnya struktur sosial, politik, ekonomi, agama, dan pendidikan, yang kesemuanya secara konsekuensi logis mendorong individu-individu menjadi sadar akan tanggung jawab karunia, rahmat, keadilan dan kemurahan Tuhan.
Dari ungkapan di atas nampaklah jelas bahwa dalam perspektif Pendidikan Islam Humanis Muhammad Iqbal mendambakan terwujudnya suatu dunia di masa depan, dimana kehidupan organis berlangsung secara dinamis tanpa mengenyampingkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai sesuatu yang esensinya bebas, juga bukanlah suatu kehidupan kemanusiaan yang mengenyampingkan nalar intelektual, moralitas serta spiritualitas; bahkan bukan pula kehidupan keduniawian yang menjauhkan manusia dari kebutuhannya terhadap nilai-nilai kebertuhanan. Dan dengan demikian maka Pendidikan Islam Humanis dalam perspektif Muhammad Iqbal adalah sebuah konsep tentang Pendidikan Islam yang mengarah kepada perkembangan individu, nilai keserasian jasmani-rohani dan intelektual-moral-spiritual, serta nilai keabadian manusia yang termanifestasi dari perbuatannya, yang terangkum dalam lima bagian pada struktur pendidikan Islam Humanis sebagaimana telah disebutkan di atas.
Hubungan Pendidikan Islam Humanis dengan Kajian Pendidikan Islam Lainnya.
Permasalahan utama dalam Pendidikan Islam dewasa ini ialah adanya stagnansi gerakan untuk maju dalam era global seperti sekarang. Hal ini disebabkan oleh sikap lamban umat Islam itu sendiri untuk memberikan reaksi terhadap arah perkembangan zaman dewasa ini, sehingga secara otomatis turut mempengaruhi kualitas dari pendidikan Islam secara keseluruhan. Padahal dalam Pendidikan Islam itu sendiri terdapat instrumen dasar untuk menanamkan nilai-nilai dan dasar-dasar keilmuan yang dibutuhkan setiap manusia agar kelak mampu mengembangkan setiap potensi yang ada dalam dirinya untuk mampu mencapai tujuan hidupnya.
Muhammad Iqbal tampil dalam panggung sejarah ummat Islam dengan sikap kritisnya berlandaskan cita-cita Humanisme Islamnya untuk memacu seluruh manusia agar dapat mencapai derajat Insan Kamil, yaitu suatu kondisi dimana manusia sudah dalam tahap keseimbangan antara jasmani dan rohaninya. Sehingga terlihat dalam setiap gerak-gerik perilakunya yang cukup sempurna. Umat Islam sampai hari ini masih amat tertinggal dari peradaban dan kondisi bangsa lain, selain karena sudah tergerogoti mentalnya, juga dikarenakan dunia pendidikan Islamnya yang tidak mempunyai konsep yang pas untuk mengawal keberadaan umat Islam itu sendiri ke tingkat derajatnya sebagai umat yang mampu membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan li al ‘alamin).
Muhammad Iqbal tampil dengan membeberkan segala keresahannya tentang kemunduran umat Islam. Sebab umat Islam yang pernah menguasai dunia, kini telah menjadi budak imperialis dan kapitalis. Para ilmuwan yang pernah terkemuka, berubah menjadi terbelakang dari segi intelektual dan terbodoh dari segi keilmuan. Dari segi moral dan kerohanian, kaum Muslim telah kehilangan segalanya. Muhammad Iqbal melihat bahwa perkembangan kaum Muslim menurun drastis serta kehilangan kemauan dan kekuatan untuk menghambat, apalagi menghentikannya. Keadaan yang terbelakang itu, membuat Muhammad Iqbal memberi kritik terhadap umat Islam untuk segera memperbaharui sikap menjadi progresif. Kritik tersebut selain ditujukan dalam bidang filsafat, hukum, sufisme, juga masalah budaya yang di dalamnya terkait masalah pendidikan. Sebab pendidikan itu dipandang sebagai suatu keseluruhan daya budaya yang mempengaruhi kehidupan perorangan maupun kelompok masyarakat.
Pendidikan Islam Humanis dari Muhammad Iqbal memiliki keterkaitan erat dengan Pendidikan Islam lainnya, termasuk di dalamnya pendidikan nilai atau moralitas. Dalam versi Pendidikan Islam Humanis dari Muhammad Iqbal ini terdapat dua jalan yang diusahakannya (Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, 2011: 149) yakni:
1. Pendidikan Islam harus mampu mendidik peserta didik agar memiliki keberdayaan diri dalam bentuk sumber daya manusia yang teraktualisasikan dan terarahkan pada kreasi yang konstruktif.
2. Upaya pendidikan Islam adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam secara keseluruhan, karena itu tujuan akhirnya harus selaras dengan tujuan hidup dalam Islam. Tujuan hidup Muslim juga menjadi tujuan akhir pendidikan Islam yakni untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Tuhan yang bertakwa dan selalu mengabdi kepada-Nya.
Dalam tinjauan pendidikan Islam (Herry Noer Aly, 2002: 101) sejumlah karakteristik yang digali dari Alquran dan Sunnah sebagai sumber hukum Islam memberi indikasi bahwa Pendidikan Islam itu adalah pendidikan yang berdiri di atas pondasi iman, ilmu, amal, akhlak, dan sosial, sehingga dapat dikatakan bahwa isi dari pendidikan Islam sendiri berarti pendidikan tentang keimanan, pendidikan yang mengarahkan manusia kepada sikap ilmiah, pendidikan yang menganjurkan manusia untuk hidup beramaliah, pendidikan yang mengajarkan tentang moralitas, serta pendidikan yang erat hubungannya dengan lingkungan sosial.
Jika tinjauan pendidikan Islam di atas dihubungkan dengan pandangan Pendidikan Islam Humanis dari Muhammad Iqbal maka akan ditemukan bahwa isi dari pendidikan Islam Humanis menyerukan manusia atau umat Islam untuk beriman (keyakinan dalam wujud kepercayaan ketuhanan), tidak berbuat sia-sia (sehingga cenderung merugi) dan memberdayakan dirinya melalui tindakan-tindakan yang teraktualisasikan melalui amal sholeh serta melakukan tindakan yang mengarah kepada kreasi yang konstruktif. Selain itu tinjauan penting dari tujuan pendidikan Islam Humanis adalah prinsip berpegang pada kebaikan serta menjauhi keburukan sebagai perwujudan sikap ketakwaan, ketundukan dan beribadah kepada Allah SWT.
Beberapa ayat Alquran menyebutkan hal tersebut sebagai berikut:
1. Surah Al Ashr (103), ayat 1-3, berbunyi:
Artinya: demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
2. Surah Al Furqon (25) ayat 70, berbunyi:
3. Surah Ali Imran (3) ayat 104, berbunyi:
Artinya: dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Menyikapi tentang usaha dalam pendidikan Islam Humanis yang memberdayakan peserta didik agar memiliki keberdayaan diri dalam bentuk sumber daya manusia yang teraktualisasikan dan terarahkan pada kreasi yang konstruktif, Abdul Munir Mulkhan (2002: 79-80) menyatakan bahwa penting bagi pendidikan dikembangkan sebagai sebuah proyeksi kemanusiaan, karena pada akhirnya seorang siswa harus mempertanggungjawabkan segala tindakannya di dalam kehidupan sosialnya, sehingga jika kebijakan pendidikan kurang mencermati tujuan ini maka pendidikan akan berubah menjadi “pemasungan” daya kreatif setiap individu. Ia juga menambahkan (Abdul Munir Mulkhan, 2002: 88) bahwa dengan demikian maka kebijakan dan strategi pendidikan secara niscaya haruslah unik dan berakar dari keunikan personal manusia.
Di lain pihak, terkait dengan tujuan akhir pendidikan Islam yang bermaksud untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Tuhan yang bertakwa dan selalu mengabdi kepada-Nya, Hasan Langgulung (2002: 252) mengusulkan suatu falsafah pendidikan Islam yang fokus untuk mendidik manusia secara menyeluruh dengan menekankan keseimbangan antara akal, rohani dan kebutuhan jasmaninya, dan berusaha agar umat manusia bekerjasama dan saling melengkapi. Sebab, hanya pendidikan Islamlah menurutnya yang memiliki potensi untuk melihat masa depan kemanusiaan, yang dapat mengangkat derajat manusia dari derajat penghambaan yang paling rendah (penghambaan terhadap hawa nafsu) menuju derajat penghambaan paling mulia (dengan menampilkan akhlak mulia).
Dengan demikian, berdasarkan pandangan Abdul Munir Mulkhan dan Hasan langgulung di atas maka dapat dikatakan bahwa perspektif Pendidikan Islam Humanis dari Muhammad Iqbal adalah konsep pemikiran yang relevan dengan kajian pendidikan Islam lainnya yang termanifestasikan dalam tinjuan pemikiran dari para tokoh pendidikan lainnya. Oleh karena itu tinjauan pemikiran Pendidikan Islam Humanis dari Muhammad Iqbal merupakan konsep yang dapat diterapkan dalam konteks pendidikan praktis.
Sebelum tahun 1990-an di Amerika Serikat telah dikembangkan program pendidikan moral yang bagus untuk mengajarkan nilai-nilai tradisional. Perhatian yang cukup besar terhadap nilai dan moralitas telah diberikan oleh para orang tua, guru dan politisi. Meningkatnya perhatian itu disebabkan oleh ketidakmampuan negara tersebut mengatasi masalah minuman keras, kriminalitas, kekerasan, disintegrasi dalam keluarga, meningkatnya jumlah remaja yang bunuh diri dan remaja putri yang mengandung, menurunnya tanggungjawab masyarakat, tumbuhnya pertentangan rasial dan etnis, serta tidak terkendalinya jumlah skandal pada tahun 1980-an, yang merupakan gejala “kehampaan etnis” dalam pemerintahan dan kehidupan secara umum. Kondisi itu telah menggugah para orang tua, pendidik, dan pemuka masyarakat untuk bersatu padu dalam memberikan pendidikan nilai dan moralitas kepada generasi muda.
Kirschenbaum kemudian menawarkan pendekatan komprehensif dalam upaya pemecahan masalah-masalah pendidikan, dimana pendekatan ini dianggapnya relatif lebih luas dan lebih tuntas. Istilah komprehensif disini mencakup beberapa aspek (Darmiyati Zuhdi, 2009: 36-37) yakni:
1. Isi pendidikan nilai harus komprehensif mencakup permasalahan terkait pilihan-pilihan yang bersifat pribadi sampai ke persoalan etika secara umum.
2. Metode yang digunakan juga harus komprehensif termasuk di dalamnya inkulkasi (penanaman) nilai, pemberian teladan, dan penyiapan generasi muda agar dapat mandiri dengan mengajarkan dan memfasilitasi pembuatan keputusan moral secara bertanggungjawab dan keterampilan-keterampilan hidup yang lain.
Pendidikan nilai terjadi dalam keseluruhan proses pendidikan di kelas, dalam kegiatan ekstrakurikuler, dalam proses bimbingan dan penyuluhan, dalam upacara-upacara pemberian penghargaan dan semua aspek kehidupan.
Pendidikan nilai terjadi dalam keseluruhan proses pendidikan di kelas, dalam kegiatan ekstrakurikuler, dalam proses bimbingan dan penyuluhan, dalam upacara-upacara pemberian penghargaan dan semua aspek kehidupan.
4. Pendidikan nilai terjadi dalam kehidupan masyarakat yang diharapkan akan memengaruhi kualitas moral generasi muda.
Dalam upaya Pendidikan Islam Humanis untuk mengarahkan pendidikannya menuju predikat Insan Kamil, Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus (2011: 151-152) menyebutkan beberapa hal yang perlu dilakukan oleh Pendidikan Islam Humanis, yaitu:
1. Mendidik mukmin sejati yang tidak memperlakukan agamanya sebagai dogma yang gagap, yang mengarungi hidupnya menurut tuntutan murni Alquran dan Sunah Nabi.
2. Mendidik peserta didik untuk memiliki dua kualifikasi, yakni : yang satu berhubungan dengan fisiknya dan yang lain berhubungan dengan spiritualnya.
3. Peserta didik diupayakan mampu menyerap sifat-sifat Tuhan dalam dirinya yang merupakan energi yang dahsyat, yang mampu memberikan kepadanya peran sebagai pemandu alam semesta dimana kedamaian dan kesejahteraan alam semesta terletak pada aktualisasi perannya.
4. Peserta didik dididik memiliki Ego yang produktif dan kreatif.
5. Peserta didik diberi kebebasan untuk memilih yang baik dan memenangkan kebaikan itu untuk mengembangkan fitrah sucinya.
6. Peserta didik diarahkan untuk memiliki kepercayaan yang tinggi akan kekuatan dan kemampuannya.
7. Peserta didik diupayakan bangkit dari kepasifannya, melakukan kreasi dan upaya produktivitas yang tinggi, membangkitkan visi keagamaan sebagai ajaran yang mampu memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat.
8. Peserta didik dibina menuju manusia mukmin yang bertanggung jawab memakmurkan alam semesta.
Pada ranah praktis pendidikan, Darmiyati Zuhdi (2009: 55-56) memberikan dua pandangan praktis bagi pendidik untuk menumbuhkan kreasi, produktivitas dan kepekaan sosial kepada peserta didik, melalui:
Dimyati Nata
1. Mengembangkan pendidikan nilai dan moral yang terlalu berfokus kepada kemampuan kognitif tingkat rendah melalui cara melengkapinya dengan kemampuan kognitif tinggi sehingga peserta didik memiliki keterampilan membuat keputusan moral yang tepat secara mandiri,memiliki komitmen yang tinggi untuk bertindak selaras dengan keputusan moral tersebut dan memiliki kebiasaan (habit) untuk melakukan tindakan bermoral. Atau dengan kata lain peserta didik dikembangkan secara holistik antara kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual.
2. Menginovasi pendekatan pendidikan nilai dan moral yang bernuansa indoktrinasi dengan pendekatan yang komprehensif, meliputi : inculcating (menanamkan) nilai dan moralitas, modelling (meneladankan) nilai dan moralitas, facilitating (memfasilitasi) perkembangan nilai dan moral dan skill development (pengembangan keterampilan) untuk mencapai kehidupan pribadi yang tentram dan kehidupan sosial yang konstruktif sebagai manifestasi kekuatan iman.
Akhirnya, berdasarkan seluruh uraian di atas maka Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus (2011: 153) memberikan kesimpulan bahwa dalam perspektif Pendidikan Islam Humanis dari Muhammad Iqbal karakteristik peserta didik yang ingin dibentuk dari konsep pendidikan Islam ini adalah peserta didik yang ideal yakni sosok mukmin sejati yang mengarungi hidupnya menurut tuntunan murni Alquran dan Hadis, memiliki keberanian dan stamina spiritual yang kokoh, memiliki langkah hidup ideal dalam menghadapi perubahan nilai di masyarakat dengan tetap mempertahankan keyakinan transendentalnya, mampu menyerap sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya dan berperan sebagai pemandu perubahan di masyarakat menuju perbaikan, memiliki daya produktif dan kreatif, bersikap bebas dan percaya akan kekuatan dan kemampuannya serta dinamis dalam menghadapi kehidupan.
Dengan demikian maka dapat dinyatakan di sini bahwa perspektif Pendidikan Islam Humanis dari Muhammad Iqbal adalah konsep pemikiran yang relevan dengan kajian pendidikan Islam lainnya yang dimanifestasikan melalui tinjuan pemikiran dari para tokoh pendidikan Islam lainnya, ataupun secara implementatif oleh para pakar pendidikan provan (terapan).
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan dari seluruh tulisan sebelumnya, maka dapat disebutkan di sini bahwa :
1. Pandangan Muhammad Iqbal tentang Ego-Insani mencakup manusia selaku individu, nilai-nilai kemanusiaan (humanisme), serta koeksistensi (hubungan) antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan Allah SWT., yang kesemuanya berpusat kepada manusia, sebagai berikut:
a. Ego-Insani adalah entitas nyata sebagai kesatuan dari keadaan mental yang tidak berdiri sendiri tetapi kesatuan organik dari kejadian-kejadian yang saling menghubungi dan terpusat serta dihubungkan antara masa kini dan masa depan.
b. Kekhasan Ego-Insani adalah ulahnya atau kesendiriannya yang esensial.
c. Ego-Insani adalah integrasi jasmani dan rohani yang sama-sama independen namun disatukan oleh faktor di luar kekuasaannya.
d. Ego-Insani adalah Ego terbatas yang akan mendekati Ego Tak Terbatas untuk melihat sendiri akibat-akibat perbuatannya di masa lampau serta mempertimbangkan perbuatan-perbuatannya di masa depan, secara individual.
e. Ego-Insani memiliki nilai keabadian.
e. Ego-Insani memiliki nilai keabadian.
a. Kesadaran individu muslim
b. Integrasi nilai spiritual, intelektual dan moral
c. Penumbuhan karakteristik Insan Kamil
d. Prakarsa dan Karya
e. Tujuan masa depan
3. Hubungan pemikiran Pendidikan Islam Humanis Muhammad Iqbal dengan pandangan Pendidikan Islam lainnya, terletak pada:
a. Pandangan Konsepsional (Teoretik)
1) Secara epistemologis pemikiran Pendidikan Islam Humanis dari Muhammad Iqbal mencakup usaha, isi dan tujuan dalam Pendidikan Islam Humanis.
2) Konsepsi Pendidikan Islam Humanis dari Muhammad Iqbal terkait erat dengan upaya untuk menjadikan peserta didik memiliki keberdayaan diri yang teraktualisasikan pada kreasi konstruktif yang tak terpisahkan dari tujuan ajaran Islam secara keseluruhan yakni untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Tuhan yang bertakwa dan selalu mengabdi kepada-Nya untuk menuju derajat Insan Kamil (manusia sempurna).
3) Pendekatan-pendekatan yang termuat dalam Pendidikan Islam Humanis dari Muhammad Iqbal melingkupi pembahasan : pendidikan karakter, pendidikan nilai dan moral, serta pendidikan holistik.
b. Pandangan Fungsional (Praktik)
1) Secara fungsional atau praktis, nilai-nilai yang terkandung dalam pandangan pendidikan Islam Humanis dari Muhammad Iqbal merefleksikan adanya metode alternatif pendidikan persekolahan yang seterusnya akan menjadi pilihan bagi pemecahan permasalahan atau kesenjangan antara praktik-praktik pendidikan persekolahan dan problema kehidupan nyata yang dihadapi peserta didik.
2) Bahwa dalam praktiknya muatan Pendidikan Islam Humanis dari Muhammad Iqbal mencakup strategi dan metode pengembangan kemampuan kognitif tingkat tinggi serta inovasi terhadap indoktrinasi nilai-nilai pendidikan nilai dan moral yang diterapkan dalam menanamkan pendidikan karakter di sekolah.
Daftar Pustaka
Aly, Hery Noer. 2002. Watak Pendidikan Islam. Cetakan pertama. Surabaya: CV. Bina Ilmu.
Azra, Azyumardi. 2002. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi menuju Millenium Baru. Cetakan ke IV. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu.
Iqbal, Muhammad. 2008. Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam. Terjemahan oleh Ali Audah dkk. dari The Reconstruction of Religious Tought in Islam (1982). Edisi pertama. Yogyakarta: Jalasutera.
Kurniawan, Syamsul dan Erwin Mahrus. 2001. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Cetakan pertama. Yogyakarta: Ar Ruzz Media
Langgulung, Hasan. 2002. Peralihan Paradigma Dalam Pendidikan Islam Dan Sains Sosial. Cetakan pertama. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Mulkhan, Abdul Munir. 2002. Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam. Cetakan pertama. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Thahir, Lukman S.. 2002. Gagasan Islam Liberal Muhammad Iqbal. Cetakan pertama. Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya.
Waugh, Earle H. dan Frederick M. Denry. 2001. Wacana Islam Barat (Refleksi Islamisis Atas Neo-Modernisme Islam Fazlur Rahman). Terjemahan oleh Musnur Hery dan Damanhuri dari The Shaping of an American Islamic Discourse (A Memorial to Fazlur Rahman). Cetakan pertama. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Yunus, Firdaus M.. 2007. Pendidikan Berbasis Realitas Sosial (Paulo Freire dan Y.B. Mangunwijaya). Cetakan ketiga. Yogyakarta: Logung Pustaka.
Zuchdi, Darmiyati. 2009. Humanisasi Pendidikan : Menemukan Kembali Pendidikan Yang Manusiawi. Cetakan kedua. Jakarta: PT. Bumi Aksara
0 komentar