Universitas Kotaraja, 26 Juni 2003.
Di ruang kerja berukuran 5 x 7 meter, seorang pria paruh baya nampak serius mencermati lembar demi lembar kertas di tangannya. Sesekali digerakkannya kursi yang Ia duduki ke kiri dan ke kanan. Silih berganti kedua tangannya membolak-balik kertas-kertas itu, mencermati isinya.
Perabot di ruangan itu tergolong High Class Furniture dengan desain yang elegan dan eksklusif. Bermerk mentereng FRONTLINE, menandakan si pemakai adalah seorang eksekutif yang berkedudukan tinggi. Lemari-lemari arsip yang bersih, terawat serta tersusun rapi memberi isyarat bahwa si pemilik adalah seorang yang sangat memperhatikan nilai estetik dari sebuah ruang kerja. Meskipun pagi itu terasa terik namun sejuknya hembusan Air Conditioning di ruangan itu tidak memberi dampak apa-apa bagi penghuninya.
“Tok, tok, tok!.” Seseorang mengetuk pintu dari luar.
“Silahkan masuk” kata lelaki paruh baya tadi.
Seorang wanita berusia tigapuluhan tahun memasuki ruangan. Ia masuk sembari membungkukkan tubuhnya.
“Silahkan duduk, Bu Wati” ucap lelaki itu.
Si wanita yang disapa “Bu Wati” tadi menuruti arahan lelaki itu sambil memperbaiki sikap duduknya.
“Maaf, Pak Rektor. Apakah Bapak memanggil saya” kata Bu Wati.
Lelaki yang disebut “Pak Rektor” tadi nampak menganggukkan kepalanya.
“Benar, Bu Wati. Tadi saya meminta staf untuk memanggil Anda” kata Pak Rektor.
“Saya sudah membaca SK DO yang Bu Wati rancang. Tetapi, Saya ragu untuk menandatanganinya” katanya lagi.
“Memangnya, kenapa Pak?” tanya Bu Wati.
“Apakah SK yang saya rancang terdapat kesalahan?” cecarnya lagi. Bu Wati nampak penasaran dengan pernyataan dari orang yang Ia sebut Pak Rektor itu.
Perlahan, lelaki paruh baya itu meletakkan kedua belah tangannya ke atas meja. Ia menarik nafas panjang tetapi menghembuskannya pelan-pelan, seakan ingin menutupi kegundahannya. Beberapa detik kemudian, bola matanya nanar menatap Bu Wati yang terlihat menanti penjelasan.
“Rancangan SK DO yang Anda buat sebetulnya sudah bagus. Bahkan, pengetikannya pun sangat rapi. Tetapi, saya ragu untuk menandatanganinya. Bukan semata SK DO ini belum dibicarakan secara saksama, baik dengan Senat Universitas maupun Majelis Pertimbangan Akademik Universitas. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal di hati saya. Terutama, para mahasiswa yang nama-nama mereka tercantum di dalam daftar SK DO ini” papar Pak Rektor kepada Bu Wati. Lelaki itu kemudian menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi kerjanya.
“Maksud Bapak, apakah Pak Rektor ragu menandatangani SK DO ini karena iba dengan mereka?” tanya Bu Wati lagi.
Lelaki paruh baya itu menghela nafasnya sejenak.
“Ya, kira-kira begitu” jawabnya.
“Begini, Bu Wati. Nama-nama para mahasiswa yang tercantum dalam SK DO ini saya ketahui sebagian besar adalah para pengurus organisasi kemahasiswaan intra kampus yang kapasitas leadershif-nya saya anggap cukup bagus. Bahkan, beberapa di antaranya telah berada di semester akhir. Saya kuatir akan terjadi pergolakan besar di kampus ini jika mereka di-DO” kata Pak Rektor menambahkan penjelasannya.
“Saya kira Bapak lebih memahami keputusan yang Bapak tempuh. Sebagai bawahan saya hanya mengikut” ucap Bu Wati perlahan.
“Baiklah, Bu Wati. Terimakasih atas kesediaan Anda menghadap saya. Saya minta tolong Anda memanggilkan Pak Ridwan agar segera menemui Saya di ruangan ini” kata Pak Rektor menutup percakapannya dengan Bu Wati.
Setelah itu, Bu Watipun berpamitan meninggalkan ruangan itu.
*****
Jarum jam dinding menunjukkan angka 10.30 ketika suara ketukan terdengar dari luar pintu ruangan Rektor Universitas Kotaraja.
“Tok, tok, tok”
“Silahkan masuk” kata Pak Rektor
Pria paruh baya, hampir seusia Pak Rektor, memasuki ruangan yang bermotif ornamen adat salah satu suku di Indonesia. Terlihat eksotik, memang, karena menampilkan perpaduan yang unik antara modernitas dan kearifan lokal. Pria paruh baya ini nampak rapi pakaiannya, menandakan Ia bukan orang sembarangan.
“Mari, Pak Ridwan, silahkan duduk” sapa Pak Rektor, menyambut tamu di depannya.
Lelaki ini adalah Pak Ridwan, Kepala BAUAK Universitas Kotaraja yang tadi diminta menghadap oleh Pak Rektor melalui Bu Wati. Dengan segera ia menuju kursi yang terletak di depan meja Pak Rektor.
“Pak Rektor memanggil saya?” tanya Pak Ridwan.
“Betul, Pak Ridwan.”
“Setengah jam yang lalu Saya meminta Bu Wati untuk memanggil Anda agar menghadap Saya” ucap Pak Rektor
“Ada beberapa hal yang ingin Saya bicarakan terkait rancangan SK DO para mahasiswa yang melakukan demonstrasi, sepekan yang lalu” terang Pak Rektor kepada bawahannya itu.
Tetapi, seketika roman wajah Pak Rektor berubah, dari rona kebersahajaan seorang pemimpin menjadi rona kegundahan seorang pria paruh baya yang tengah menghadapi problem. Sepertinya, dalam pikirannya kini tengah berkecamuk berbagai asumsi yang membuat hatinya gundah, tak menentu, ambigu, namun perasaanya berharap agar semua ini segera berlalu.
“Kalau boleh tahu, bagaimana pandangan Anda terkait kebijakan DO yang akan Kita putuskan kepada para mahasiswa itu?.”
“Apalagi, Saya mengambil keputusan itu tanpa melalui rapat Senat ataupun berkonsultasi terlebih dahulu kepada Majelis Pertimbangan Akademik Universitas.”
Pak Rektor menghela nafasnya dan seketika menghembuskannya. Perlahan, Ia pun menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya. Untuk beberapa saat matanya memandang dalam ke arah Pak Ridwan.
“Menurut Pak Ridwan, apakah sudah benar jika kebijakan DO ini Kita tempuh?” tanyanya kepada Pak Ridwan yang sedari tadi nampak khidmat memerhatikannya.
“Menurut saya, kebijakan yang Bapak tempuh tidaklah salah” jawab Pak Ridwan, perlahan.
“Sepengetahuan saya, Statuta dan Pedoman Akademik Universitas Kita telah mengatur kewenangan Rektor selaku pengambil keputusan tertinggi di perguruan tinggi ini.”
“Tetapi, jika Pak Rektor bertanya tentang layak atau tidaknya kebijakan yang Bapak tempuh, saya kira di sinilah titik lemahnya.”
“Maafkan jika saya harus berkata jujur” katanya.
Pak Ridwan agak menunduk menyampaikan kalimat terakhir ini.
“Sejujurnya, Saya agak kuatir dengan kebijakan yang Bapak tempuh. Alasan men-DO-kan para mahasiswa itu dengan dalih pelanggaran kode etik dan tata tertib keakademikan, menurut Saya tidaklah tepat. Keputusan ini hanya akan berbuntut protes dan perdebatan yang panjang mengenai aturan kampus. Saya kuatir kebijakan DO ini akan memicu gejolak di lingkungan kampus Kita, Pak” kata Pak Ridwan, menjelaskan pendapatnya secara panjang lebar.
“Ya, itu pula pertimbangan yang membuat Saya ragu untuk menandatangani SK DO itu, Pak Ridwan.” Tiba-tiba Pak Rektor menimpali pernyataan Pak Ridwan.
Suasana hening seketika, keduanya pun terdiam. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut keduanya. Lima menit berlalu, tanpa ada percakapan di antara kedua orang pria paruh baya itu. Tiba-tiba, suara ringtone Handphone memecah kesunyian di antara keduanya.
“Maaf, Pak Ridwan. Ada telepon dari isteri Saya” kata Pak Rektor.
Pak Ridwan pun mengulurkan tangannya, pertanda mempersilahkan Pak Rektor untuk menjawabnya. Sepuluh menit kemudian telepon pun ditutup.
“Baik, Pak Ridwan. Saya kira Saya sudah memahami apa yang menjadi pendapat Anda” kata Pak Rektor, membuka percakapannya kembali dengan Pak Ridwan.
“Malam ini akan Saya pertimbangkan lagi pendapat Anda. Terimakasih telah meluangkan waktu untuk menghadap Saya” katanya.
Setelah percakapan itu Pak Ridwan pun segera meninggalkan ruangan Pak Rektor. Meninggalkannya sendiri dengan problem yang dihadapinya.
*****
Handphone bermerk Nokia 3230 itu terletak di salah satu meja kecil sebuah springbed. Ringtonenya terdengar berbunyi beberapa kali, mengalunkan instrumen nada yang begitu indah. Sebuah tangan tiba-tiba menggapainya. Jari Jempolnya menekan salah satu tombol bersimbol gagang telepon yang berwarna hijau, yang terletak di samping kiri medium tombol Handphone itu.
“Halo..., Siapa ini?” kata si pemilik Handphone agak lesu, menyapa seseorang yang menghubunginya malam itu. Berat terasa di matanya karena tiba-tiba terjaga setelah sedari tadi telah lama terpejam.
“Selamat malam, Pak Burhan” sahut suara di Handphone itu, yang nampaknya seorang pria.
Pak Burhan, si pemilik Handphone, tiba-tiba membuka matanya. Ia segera terjaga setelah menyadari suara si penelepon di seberang sana.
“Ya, Pak Bupati” sahutnya seketika dan bergegas bangkit dari springbednya.
Pak Burhan si pemilik Handphone melirik ke jam dinding di kamarnya. Jam 01.30 gumamnya dalam hati. Secepatnya ia menuju ke tempat sakelar lampu kamar dan menekan salah satu tombolnya ke arah kata ‘ON’. Lampu di kamar itupun seketika menyala salah satunya dan menerangi sebagian ruang kamar itu.
“Maaf, Pak Bupati. Ada hal apa sehingga Bapak menghubungi Saya selarut ini. Ada tugas baru kah yang harus saya lakukan?” tanyanya mencecar pertanyaan kepada seseorang di seberang sana yang Ia sebut “Pak Bupati,” meskipun tidak langsung memperoleh jawaban.
“Pak Burhan, bagaimana situasi di kampus Anda beberapa hari terakhir?” Pak Bupati bertanya. Nampaknya, Ia tidak mengindahkan pertanyaan Pak Burhan sebelumnya.
“Apakah Anda sudah melakukan apa yang Saya intruksikan beberapa hari yang lalu?” tanyanya lagi.
“Ya, Pak Bupati. Saya sudah lakukan yang Bapak intruksikan” jawab Pak Burhan.
“Bagus. Bagus itu, Pak Burhan. Berarti Anda telah memahami apa yang menjadi kemauan Saya” kata Pak Bupati di seberang sana.
“Singkirkan secepatnya orang-orang yang menentang Saya, ataupun dengan lantang berani mengkritisi kinerja pemerintahan Saya. Jika tidak, Anda tahu sendiri, kan, konsekuensinya” kata Pak Bupati di seberang sana sembari menyisipkan ancaman.
Pak Burhan yang mendengar ancaman itu hanya termangu. Ucapan Pak Bupati tadi seakan sembilu yang menusuk di jantungnya. Perih terasa, tetapi tidak dapat dicabut.
“Nah, perlu kiranya Pak Burhan ketahui bahwa di lingkungan kampus Anda terdapat beberapa orang yang Saya percayai, yang selalu menyampaikan informasi kepada Saya seputar perkembangan yang terjadi di lingkungan kampus Anda. Jadi, Bapak Saya peringatkan agar tidak sesekali membelakangi Saya” ancam Pak Bupati lagi.
Ancaman tadi telah menyudutkan posisi Pak Burhan di tempat yang tidak memiliki sedikitpun ruang untuk mengajukan pilihan. Sepertinya Pak Bupati berupaya mempertegas komitmen Pak Burhan kepadanya.
“Baiklah, Pak Bupati” sahut Pak Burhan, lesu.
“Ingat, Pak Burhan, jabatan yang Bapak peroleh saat ini karena bantuan dan kemurahan hati Saya kepada Pak Burhan. Anda masih ingat, kan, berapa banyak dana yang Saya keluarkan untuk suksesi Bapak pada saat pemilihan Rektor melalui Rapat Senat Universitas dulu?” kata Pak Bupati.
“Ya, Pak. Saya masih ingat jasa Bapak itu” kata Pak Burhan.
“Bagus. Bagus” kata Pak Bupati, merasa senang atas jawaban Pak Burhan tadi. Tawa menggelegak terdengar di seberang sana.
“Klik...” telepon tiba-tiba diputus.
“Halo, Halo, Pak Bupati” panggil Pak Burhan berulangkali. Sayangnya, suara Pak Bupati telah hilang di seberang sana.
Pak Burhan menatap nanar ke arah Handphonenya. Entah apa yang Ia pikirkan saat ini. Menyadari sikap diamnya tidak menghasilkan apa-apa, secepatnya Ia letakkan kembali Handphonenya itu ke tempat semula.
Perasaan lesu menyelinap dalam diri Pak Burhan. Ia berjalan gontai menuju sofa tunggal yang terletak di ujung kamarnya. Ia duduk perlahan di sana dan menyandarkan tubuhnya. Matanya dipejamkan perlahan sembari menerawang jauh, mengingat semua peristiwa yang pernah dialaminya.
Burhan, atau nama lengkapnya Dr. Burhanuddin Malengka, S.E., M.Si. Dua tahun yang lalu Ia hanyalah seorang dosen yang senantiasa disibukkan oleh pekerjaan rutinnya, yaitu mengajar mahasiswa Universitas Kotaraja di dalam kelas maupun melakukan penelitian. Meskipun sesekali Ia terlibat dalam pergelutan intelektual bersama dosen-dosen Universitas Kotaraja lainnya, tetapi hal itu belum berdampak besar terhadap karirnya saat ini. Dengan jabatan akademiknya serta kepakarannya dalam disiplin ilmu manajemen, hal itu lah yang kemudian mampu menopang karirnya sehingga menduduki kekuasaan tertinggi sebagai Rektor di kampus Universitas Kotaraja pada periode 2002-2005.
Masih segar dalam ingatan Pak Burhan peristiwa dua tahun yang lalu ketika Ia terlibat dalam sebuah seminar ilmiah tentang ‘Manajemen Pengelolaan Keuangan Daerah’ dimana Ia berposisi sebagai pembicara. Analisanya yang tajam namun dengan bahasa yang santun, halus, dan tersusun rapi, tidak terkesan menghakimi keburukan pemerintah daerah yang dipimpin oleh Pak Bupati, yang Ia anggap sebagai “atasannya” saat ini. Pesona itulah yang telah memikat hati Bupati Kotaraja untuk merekrutnya sebagai tenaga ahli.
Ia secara khusus diundang oleh Pak Bupati untuk bertemu langsung dengannya di sebuah Hotel Bintang Tiga, di kawasan Blue Hill, di Kotaraja. Dalam pertemuan itu Pak Burhan berbicara banyak dengan Pak Bupati mengenai berbagai kelemahan serta solusi-solusi kreatif di sektor ekonomi pemerintahan Kotaraja yang dipimpin oleh Pak Bupati. Sepengetahuan Pak Burhan dengan sudut pandang dan solusi itulah Pak Bupati akhirnya menempatkannya sebagai salah satu tim pakar di sekelilingnya, yang akan membantu kelancaran urusan pemerintahannya, yang akan segera berakhir pada periode pertama dan akan diproyeksikan pada pemerintahan di periode kedua. Pak Burhan setuju dengan permintaan Pak Bupati itu dengan komitmen turut membantu kelancaran pemerintahan Pak Bupati hingga selesai di periode kedua.
Seingat Pak Burhan itulah momen awal yang turut menopang lejitan karirnya hingga menguasai tahta tertinggi di kampus Universitas Kotaraja, saat ini. Akan tetapi, malam ini Ia mulai menyadari betapa rumitnya jalannya. Malam ini Ia tersadar betapa sengsaranya harus menapaki ruas demi ruas jalan kesuksesan yang dibangun di atas kontrak kekuasaan, yang nyatanya tidak seiras dengan amanah institusi pendidikan tinggi yang mengemban misi mulia. Tetapi, apalah dayanya, Pak Burhan telah meletakkan kakinya di atas jalan itu. Komitmen individu harus ia tunaikan guna menghindari petaka yang lebih besar, baik bagi dirinya, keluarganya, ataupun institusi pendidikan tinggi yang ia pimpin saat ini.
Ia tidak ingin karir individunya sebagai Rektor Universitas Kotaraja harus berakhir nestapa. Ia pun tidak ingin isteri dan anak-anaknya terdampak hebat oleh pembangkangannya. Dan, Ia pun sangat tidak menginginkan derita berkepanjangan bagi institusi Universitas Kotaraja yang Ia pimpin, karena hal ini akan memicu petaka hebat bagi kampus Universitas Kotaraja. Sebab, 30% anggaran pembiayaan kampus berasal dari alokasi dana hibah sosial dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kabupaten Kotaraja. Ia tidak ingin dikucilkan karena tidak mampu mengemban misi memajukan institusi Universitas Kotaraja di mata para karyawan dan tenaga pengajar, terlebih koleganya sesama pejabat di lingkungan Universitas Kotaraja.
“Pa, bangun, Pa.”
Pak Burhan tiba-tiba tersadar oleh sentuhan lembut jemari seorang wanita di bahunya, yang membuat matanya kembali terjaga. Ia melihat istrinya telah berdiri di depannya dengan wajah yang kebingungan meskipun dengan ulasan senyum yang indah.
“Ada apa, Pa?. Kok, Papa terbangun sepagi ini?” ucap Isterinya.
Mata Pak Burhan melirik ke jam dinding kamarnya. Jam 03.30 gumamnya.
“Tidak apa-apa, kok, Ma. Papa tiga jam yang lalu dapat telepon dari Pak Bupati. Besok ada pekerjaan yang harus Papa selesaikan di kantor” kata Pak Burhan menjawab pertanyaan isterinya itu. Ia tidak berani bercerita lebih jauh perihal masalahnya. Kuatir hal itu akan menjadi beban pikiran bagi isterinya.
Pak Burhan bangkit dari sofa tunggal yang Ia duduki. Agak lesu terasa di tubuhnya namun Ia paksakan bergerak menuju tempat sakelar lampu kamar dan menekan tombol ‘OFF’nya. Kamar itu pun seketika gulita. Pak Burhan pun kembali ke springbed empuknya, diiringi sang isteri yang dengan telaten melapis tubuhnya dengan selimut lembut, lalu memeluknya erat.
Meskipun raga Pak Burhan telah beristirahat namun tidak demikian dengan alam pikirnya. Benaknya masih terjaga, menerawang nasib para mahasiswa yang akan segera Ia keluarkan SK DO-nya. Derita juga Ia rasakan tatkala memikirkan nasib para mahasiswa yang akan segera Ia putus dengan kehidupan kampus, terlebih sebetulnya mereka adalah para mahasiswa semester akhir dengan kemampuan leadershif yang bagus. Kampus bagi mereka semestinya menjadi kawah candradimuka yang mampu menempa mental mereka menjadi pribadi yang tangguh, tangkas, disiplin, dan berani, sebagai bekal menuju pergolakan kehidupan nyata yang lebih keras. Saat ini, ibaratnya Ia harus mematah kelopak bunga yang akan segera mekar, atau seperti memecah bahtera yang akan segera mengarungi lautan lepas.
“Akh, betapa berdosanya Aku” gumam Pak Burhan di dalam hati, di akhir renungannya.
Malampun berlalu meninggalkan Pak Burhan dengan problem yang berkecamuk di dalam pikirannya.
*****
Universitas Kotaraja, 27 Juni 2003.
Asap hitam mengepul dari sebuah ban yang terbakar, membumbung tinggi di langit Universitas Kotaraja. Pagi ini, sekelompok mahasiswa dari kampus Universitas Kotaraja nampak mengelilinginya, sembari meneriakkan hujatan disebabkan oleh amarah yang telah tersulut.
“Kami adalah orang-orang yang terzalimi oleh sikap pengecut Pak Rektor!.”
“Pak Rektor, jangan sembunyi di belakang meja megahmu!. Mari berdialog sebelum membuat putusan!.”
“Pak Rektor, mari hadapi kami. Jangan jadi banci, Pak!.”
Sekelompok mahasiswa itu terus berteriak, memanggil-manggil seseorang yang mereka sebut “Pak Rektor” meskipun tidak menyatakan namanya. Seseorang di antara mereka terdengar berorasi tentang kekecewaannya terhadap suatu putusan yang telah diambil oleh Pak Rektor. Sesekali, terdengar ia memelas meminta Pak Rektor untuk mengurungkan ketetapannya.
Ada pula di antara mereka yang menimpali pernyataan temannya tadi dengan pertanyaan “Kami salah apa, Pak?!. Mengapa Kami di-DO?!,” sembari berteriak membuat suasana pagi Jumat itu semakin panas. Para mahasiswa kampus Universitas Kotaraja lainnya hanya menonton dari kejauhan, tanpa berani mendekat.
Empat puluh lima menit berlalu, orang yang dipanggil “Pak Rektor” tidak kunjung muncul di hadapan sekelompok mahasiswa tadi. Malahan, satu regu Satpam kampus yang terdiri dari dua belas orang, yang datang menghampiri mereka. Bersenjata Baton Stick di tangan masing-masing, para Satpam kampus itu mulai menghalau para mahasiswa yang sedari tadi berkumpul menggelar demonstrasi. Agak kasar nampaknya, sehingga kekacauan pun tidak terelakkan.
Sekelompok mahasiswa tadi yang berjumlah delapan orang mulai melakukan perlawanan. Merekapun ikut mengamuk, mengayunkan lengannya untuk memukul para Satpam yang menghalau mereka dengan kasar. Tetapi, kekuatan mereka tidak sebanding dengan kesiagaan Satpam kampus Universitas Kotaraja yang nampak beringas menghalau aksi demonstrasi mereka.
Tanpa ragu para Satpam itu mengayunkan Baton Stick di tangan mereka. Tidak ada rasa iba terpancar di raut wajah mereka itu, yang nampak hanyalah keinginan mereka untuk segera menuntaskan tugas. Berdarah-darah, para mahasiswa yang berdemonstrasi tadi berlari tungganglanggang sekenanya menghindari keberingasan para Satpam kampus Universitas Kotaraja, yang menghalau mereka hingga ke luar gerbang kampus.
Tragedi Jumat Kelabu terjadi di kampus Universitas Kotaraja, pagi ini.
*****
0 komentar