Mubaraklink.Web.Id - Islam mengajarkan agar umatnya mengedepankan perbuatan ma’ruf dan menganjurkan perdamaian (ishlah) di antara manusia, sembari mengabaikan bisikan-bisikan yang menyesatkan. Allah menegaskan dalam firman-Nya:
۞ لَا خَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ اِلَّا مَنْ اَمَرَ بِصَدَقَةٍ اَوْ مَعْرُوْفٍ اَوْ اِصْلَاحٍۢ بَيْنَ النَّاسِۗ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا
Artinya: “Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.” (Q.S. An-Nisa/4:114).
Konsep Perbuatan Ma’ruf dan Membingkai Perdamaian
Perbuatan ma’ruf dan perdamaian adalah dua kata sepadan yang disandingkan oleh Allah di dalam Alquran, yang membentuk harmoni (atau keselarasan). Situasi yang harmonis, apalagi dalam bermasyarakat, sekali-kali tidak akan mungkin dicapai jika dilandasi oleh perilaku ekstrim dan radikal.
Keharmonisan hanya dapat dijangkau oleh hati yang lembut, penuh kedamaian dan pemaaf, bertoleransi serta mengambil jalan musyawarah dalam kehidupan. Allah mengatakan dalam Alquran:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ
اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا
مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى
الْاَمْرِۚ ...
Artinya: “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. ...” (Q.S. Ali Imran/3:159)
Anjuran Nabi tentang Perbuatan Ma’ruf dan Membingkai Perdamaian
Kelembutan hati akan mengantarkan kepada sikap rendah hati (tawadhu’). Ini bukan berarti merendahkan martabat, malah akan semakin meninggikannya dengan derajat kemuliaan akhlak. Rasulullah SAW mengatakan:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ رَجُلًا
بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ
Artinya: “Harta tidak akan berkurang dengan sedekah, tidaklah Allah menambah pada seorang laki-laki yang memberi maaf kecuali kemuliaan, dan tidaklah seorang hamba bersifat tawadhu` kepada Allah kecuali Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR Ahmad dari Abu Hurairah, dalam Musnad Ahmad No. 8647)
Nampak jelas bahwa berbuat yang ma’ruf (kebaikan) dan menggalakkan budaya damai (ishlah) dalam kehidupan adalah bagian dari ajaran Islam. Rasulullah sendiri adalah contoh terbaik akan hal ini.
Disebutkan dalam Hadis Bukhari Nomor 2496, sebagaimana riwayat dari Sahal bin Sa’ad, tatkala Rasulullah SAW dikabarkan terjadinya peristiwa tawuran penduduk Quba’ hingga saling lempar batu, maka beliau pun berkata:
اذْهَبُوا بِنَا نُصْلِحُ بَيْنَهُمْ
Contoh Perbuatan Ma’ruf dan Membingkai Perdamaian dari Sahabat Nabi
Contoh lainnya datang dari atsar al-shahabi (peristiwa atau perkataan dari sahabat Rasulullah). Sebagaimana diceritakan dalam Shahih Bukhari (Nomor 3913) yang bersumber dari Aisyah RA. Pernah terjadi perselisihan antara Abu Bakar dan Fathimah binti Rasulillah semasa hidupnya, mengenai permintaan Fathimah terhadap warisan Nabi SAW yang bersumber dari harta Fa’i (harta yang diperoleh tanpa melalui peperangan) di Madinah dan Fadak, serta seperlima Ghanimah (harta yang diperoleh melalui peperangan) Khaibar. Abu Bakar menolak memberikannya dengan argumentasi dari pernyataan Rasulullah:
لَا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ
Artinya: “Kami tidak diwarisi, segala yang kami
tinggalkan hanya sebagai sedekah saja.”
Permasalahannya, keluarga Nabi SAW memperolah makan dari harta itu. Keengganan Abu Bakar menyerahkan harta itu karena berpegang pada pernyataan Rasulullah dan ajaran beliau, berbuntut pengabaian dari Fathimah sepanjang hidupnya. Fathimah wafat berselang enam bulan sejak kewafatan Rasulullah. Ali bin Abi Thalib, suami Fathimah, ketika Fathimah wafat tidak memberitahukannya kepada Abu Bakar dan memungkiri penghormatan para sahabat kepadanya. Di saat yang sama, meski ia berdamai dengan Abu Bakar namun di bulan-bulan itu (sejak kewafatan Rasulullah hingga kewafatan Fathimah) ia belum berbaiat kepada Abu Bakar.
Ali kemudian mengutus seseorang kepada Abu Bakar yang inti pesannya meminta Abu Bakar mendatanginya sendirian tanpa ditemani siapapun. Ali tidak menginginkan Umar turut hadir menemani Abu Bakar. Abu Bakar pun datang menemui Ali. Di saat itulah tersibak inti perselisihan antara Abu Bakar dan Fathimah sebelumnya, bahwa sebagai keluarga terdekat Rasulullah Fathimah memiliki pendapatnya sendiri tentang warisan Rasulullah bagi keluarga yang ditinggalkannya. Pengabaian pendapat Fathimah inilah yang disesalkan oleh Ali kepada Abu Bakar, meskipun Ali menghomati argumentasi Abu Bakar dan menghormati kemuliaannya sebagai khalifah Rasulullah. Setelah masalah ini terklarifikasi, dan Abu Bakar menyampaikan klarifikasinya di hadapan umat Islam mengenai inti persilisihannya dengan keluarga Rasulullah, barulah Ali berbaiat kepada Abu Bakar.
Sebagai penutup tulisan ini, ajaran Islam menganjurkan perbuatan ma’ruf dan membingkai perdamaian, sehingga tidak ada sedikitpun ruang untuk berperilaku ekstrim dan radikal di dalam menanggapi permasalahan hidup. Namun, jikalaupun terjadi resistensi sosial, hendaknya kebersamaan semakin dipupuk oleh umat Islam dengan tetap mengedepankan akhlak Islam yang cinta damai.
Marilah kita petik hikmah pentingnya berbuat yang ma'ruf dan membingkai perdamaian, serta tetap waspada terhadap segala kemungkinan yang terjadi di masa mendatang.
0 komentar