Mubaraklink.Web.Id - Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, khususnya Internet dan media sosial, telah menjadi salah satu faktor terpenting dalam menginformasikan dinamika dan manifestasi politik Muslim di seluruh dunia akhir-akhir ini. Persaingan atas simbol dan interpretasi agama serta institusi yang mengendalikannya, yang merupakan ciri utama politik Muslim, sering terjadi melalui Internet dan media sosial dan terkait erat dengan cara informasi, ide, dan wacana dibagikan, dikomunikasikan. , dan diproduksi. Pertumbuhan mode baru komunikasi interaktif telah memungkinkan umat Islam untuk semakin berpartisipasi dalam wacana Islam global. Meskipun media digital tidak serta merta memunculkan apa yang disebut ruang publik, media digital memberikan kontribusi signifikan untuk membentuk kembali rasa dan struktur publik yang sudah tersedia. Embrio “Islam publik” muncul dan menjadi tantangan bagi definisi sekularis tentang batas-batas dan isi ruang publik. Ini menyediakan ruang untuk pertemuan di tingkat yang berbeda dan menginformasikan strategi individu dan kolektif dari dialog budaya.
Padahal, transparansi yang ditimbulkan oleh media digital meningkatkan cakupan, intensitas, dan bentuk keterlibatan dalam multiplisitas ruang publik yang tumpang tindih. Aktor-aktor keagamaan baru yang tidak memiliki otoritas keagamaan dalam pengertian tradisional telah muncul. Mereka mungkin tidak melek huruf seperti di masa lalu, tetapi mereka pasti lebih mampu memanipulasi simbol dan ritual dan mewakili masyarakat masa kini. Memanfaatkan media digital interaktif mereka membuat sintesis melalui semacam praktik hibriditas budaya, sedemikian rupa sehingga mereka mengemas Islam dan menawarkannya untuk konsumsi massal. Rasa kesalehan baru telah berkembang di kalangan Muslim Indonesia dan ini telah mereduksi keyakinan, simbol, dan nilai agama menjadi penanda yang mengambang bebas untuk dikonsumsi seperti hal lainnya. Dengan demikian, hal itu membawa mereka dari konteks aslinya dan melemparkan mereka ke dalam pasar budaya di mana mereka dapat dirangkul dengan cara yang dangkal tetapi tidak harus dipraktikkan. Teknologi komunikasi baru mempercepat proses ini melalui produksi dan perampasan barang-barang “religius”.
Kini beragam “produk Islami”, antara lain CD Al-Qur'an, DVD sinetron, plakat inspirasional dan stiker bemper, pengamat kaligrafi, model amalan tiga dimensi, poster dan jigsaw puzzle yang menggambarkan masjid-masjid di Mekkah dan Madinah, kartu ucapan , permainan papan, dan perangkat lunak komputer, termasuk database Al-Qur'an dan hadits, dan bantuan komputerisasi untuk pembacaan Al-Qur'an dan pembelajaran bahasa Arab, tersedia di pasar, berdampingan dengan berbagai yang lebih konvensional, seperti trendi, penuh warna jilbab, kaos muslim, minyak wangi, dan boneka barbie berjilbab. Paradoksnya, kurva kenaikan media digital yang meluas tidak perlu melahirkan pluralisme sipil yang menerima dan melegitimasi keragaman. Dalam beberapa kasus, media digital membantu kelompok Islam militan melakukan mobilisasi kekerasan untuk kepentingan mereka sendiri. Meletusnya gelombang militansi Islam di Indonesia pasca-Soeharto, misalnya, menegaskan peran ambivalen media digital tersebut. Tak lama setelah kejatuhan rezim pada Mei 1998 sejumlah kelompok Muslim militan dengan nama seperti Laskar Pembela Islam (Tentara Pembela Islam), Laskar Jihad (Pasukan Perang Suci) dan Laskar Mujahidin Indonesia (Pasukan Prajurit Suci Indonesia) datang ke garda terdepan untuk menuntut penerapan syariah (hukum Islam) secara komprehensif. Baik secara implisit maupun eksplisit mereka mempertanyakan format negara-bangsa modern dan menyatakan keprihatinan mereka dengan berdirinya negara Islam.
Pemuda sering menjadi aktor utama di balik manuver ini karena mereka tidak sabar untuk membawa perubahan sosial dan seringkali yang pertama melakukan inovasi. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia; dalam gerakan demokrasi yang disebut sebagai musim semi Arab, kaum muda berada di garis depan aksi. Padahal, kaum muda adalah konsumen utama wacana Islam konservatif yang disebarkan melalui berbagai saluran komunikasi, termasuk media cetak dan internet. Ideologi Islam pada gilirannya membentuk narasi pemuda tentang konfrontasi dengan Yang Lain: Barat dianggap sebagai musuh utama Islam, berusaha untuk melemahkannya dan menundukkan umat (seluruh komunitas Muslim) dengan berbagai cara, tidak hanya melalui peperangan tetapi juga melalui perang ide (ghazw al-fikr) dan invasi budaya, ekonomi, sosial dan politik.
Maksud Kegiatan
Konferensi tahunan ini mencakup karya akademis di bidang studi Islam. Setiap tahun tema berubah tergantung pada trending issue dan wacana akademik dunia di lapangan. Untuk kesembilan belas kalinya pada AICIS Tahun 2021 ini, konferensi bertujuan untuk menyelidiki persimpangan antara Islam digital, pemuda dan pendidikan. Pentingnya pendidikan terletak pada kapasitasnya baik untuk menghasilkan dan mengirimkan pengetahuan dan untuk menanamkan norma-norma dan nilai-nilai kepada khalayak yang ditargetkan. Ini juga merupakan bidang di mana kehidupan sehari-hari umat Islam terjerat dengan pemahaman normatif Islam dalam berbagai cara. Di jantung proses ini terletak berbagai lembaga pendidikan Islam, termasuk pesantren, madrasah, perguruan tinggi dan universitas Islam, serta lembaga pembelajaran non-formal yang telah ada di Indonesia selama berabad-abad. Oleh karena itu, menarik untuk mengeksplorasi sifat positif dan pluralistik pendidikan Islam di Indonesia, dengan kesiapannya untuk mengintegrasikan pengetahuan agama dengan pengetahuan sekuler dan untuk menunjukkan kompatibilitas pembelajaran modern dan profesi dengan nilai-nilai Islam yang paling mendalam. Melalui pendidikan Islam rasa keterikatan pada Islam dan modernitas global tidak diragukan lagi dibangun. Keterikatan ini memungkinkan kaum muda untuk mengembangkan wacana baru tentang subjektivitas refleksif dan membingkai aspirasi dan aktivisme mereka.
Alamat Tautan Kegiatan
0 komentar