17/10/2021

Mubaraklink.Web.Id - Epistemologi keilmuan Islam klasik telah lama memperkenalkan konsep nalar yang disebut bayânî, ‘irfani dan burhani. Nalar bayani ialah pemahaman secara tekstual normatif, yaitu lebih terpaku pada teks atau pada dasar-dasar -atau, dikenal dengan sebutan al-ushûl al-arba’ah, yaitu: Alquran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas- yang dipatok sebagai sesuatu yang baku dan tidak berubah. Berikutnya, nalar ‘Irfani atau spiritual intuitif, yaitu disiplin gnotisisme yang didasarkan pada wahyu dan “pandangan dalam” dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi’i, penafsiran esoterik terhadap Alquran, dan orientasi filsafat illuminasi. Dan, nalar Burhani, yaitu suatu penalaran rasional demontsratif yang didasarkan pada metode epistemologi melalui observasi empiris. (Al-Jabiri, 2000:xiv-xvii)


Kritik Epistemologis terhadap Nalar Bayânî‘Irfani dan Burhani
Kritik epistemologis terhadap nalar bayânî, ‘irfani dan burhani dilakukan Amin Abdullah salah seorang pakar Islamic Studies di Indonesia. Amin Abdullah (2006:373) mengatakan bahwa corak pemikiran keislaman model bayânî (yang didukung oleh Fiqh dan Kalam) sangat mendominasi dan bersifat hegemonik sehingga sulit berdialog dengan tradisi epistemologi irfani dan burhani. Hal inilah yang membentuk model dikotomik atomistik. Kelemahan mencolok dari tradisi nalar epistemologi bayânî adalah ketika ia harus berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas, kultur, bangsa atau masyarakat yang beragama lain, dimana umumnya mereka bersifat dogmatik, defensif, apologis, dan polemik. Pengembangan pola pikir bayânî hanya dapat dilakukan jika ia mampu memahami, berdialog dan mengambil manfaat dari sisi fundamental yang dimiliki oleh pola pikir ‘irfani dan burhani, begitu pula sebaliknya. Sementara itu, corak pemikiran irfani (tasawuf, intuitif, al-‘atify) kurang begitu disukai oleh tradisi keilmuan bayânî (Fikih dan Kalam) yang murni, lantaran bercampuraduknya bahkan dikaburkannya tradisi berpikir keilmuan ‘irfani dengan kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi tarekat dengan syatahat-syatahat-nya serta memang kurang dipahaminya struktur fundamental epistemologi dan pola pikir ‘irfani berikut nilai manfaat yang terkandung di dalamnya.


Berbeda dengan keduanya, corak berpikir burhani bersumber pada realitas (al-Waqi'). Baik realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut sebagai al-‘ilmu al-husuli, yaitu ilmu yang dikonsep, disusun dan disistematisasikan lewat premis-premis logika atau al-manthiq, dan bukannya lewat otoritas teks atau salaf dan bukan pula lewat otoritas intuisi. Kalau saja tiga pendekatan keilmuan agama Islam di atas, yaitu bayânî, ‘irfani dan burhani bisa saling terkait, terjaring dan terpatri dalam satu kesatuan yang utuh, maka corak dan model keberagamaan Islam, jauh lebih komprehensif dan bukannya bercorak dikotomis atomistik seperti yang dijumpai sekarang ini. 

Integrasi Keilmuan Islam dalam Konsep Integratif Interkonektif
Amin Abdullah (2002:18) menyikapi normativitas dan historisitas dalam Islam dan berpendapat bahwa pendekatan Islam yang bersifat teologis normatif dan historis empiris sangat diperlukan dalam melihat keberagamaan masyarakat pluralistik. Keduanya akan saling mengoreksi, menegur, dan memperbaiki kekurangan yang ada pada kedua pendekatan tersebut. Karena pada dasarnya pendekatan apapun yang digunakan dalam studi agama tidak akan mampu menyelesaikan persoalan kemanusiaan secara sempurna. Pendekatan teologis normatif saja akan menghantarkan masyarakat pada keterkungkungan berpikir sehingga akan muncul truth claim, sehingga melalui pendekatan historis empiris akan terlihat seberapa jauh aspek-aspek eksternal seperti aspek sosial, politik, dan ekonomi yang ikut bercampur dalam praktik-praktik ajaran teologis.


Paradigma integratif-interkonektif (Abdullah, 2006:402-403) berupaya mengintegrasikan dan menginterkoneksikan antara hadharat al-nash (penyangga budaya teks Bayani), hadharat al-falsafah (peradaban budaya etik emansipatoris), dan hadharat al-‘ilm (peradaban sains dan teknologi). Paradigma ini mempertemukan berbagai disiplin keilmuan, sehingga tidak hanya single entity (berupa arogansi disiplin ilmu karena menganggap yang paling benar), ataupun isolated entities (dari berbagai disiplin keilmuan, namun terjadi isolasi atau tidak saling tegur sapa), melainkan sampai kepada interconnected entities (yaitu masing-masing disiplin ilmu menyadari keterbatasannya sehingga terjadi saling kerjasama dan bersedia menggunakan berbagai metode walaupun itu berasal dari rumpun ilmu yang berbeda).

Konstruksi Paradigma Integratif Interkonektif
Konstruksi paradigma integratif-interkonektif yang dilakukan oleh Amin Abdullah mengambil inspirasi dari Ian G. Barbour dan Holmes Rolston melalui pandangan terhadap hubungan agama dan ilmu yang bercorak semipermeable (hubungan saling menembus), intersubjective testability (keterujian intersubjektif), dan creative imagination (imaginasi kreatif) (Abdullah, 2013:9). 

Konsep semipermeable berasal dari keilmuan biologi, dimana isu survival for the fittest adalah yang paling menonjol. Hubungan antara ilmu yang berbasis pada kausalitas (causality) dan agama yang berbasis pada makna (meaning) adalah bercorak semipermeable, yakni antara keduanya saling menembus. Hubungan antara ilmu dan agama tidaklah dibatasi oleh tembok/dinding tebal yang tidak memungkinkan untuk berkomunikasi, tersekat atau terpisah sedemikian ketat dan rigidnya, melainkan saling menembus, saling merembes. Saling menembus secara sebagian, dan bukannya secara bebas dan total. Masih tampak garis batas demarkasi antar bidang disiplin ilmu, namun ilmuan antar berbagai disiplin tersebut saling membuka diri untuk berkomunikasi dan saling menerima masukan dari disiplin di luar bidangnya. Hubungan saling menembus ini dapat bercorak klarifikatif, komplementatif, afirmatif, korektif, verifikatif maupun transformatif. (Abdullah, 2013:9-10) 

Berikutnya, intersubjective testability (keterujian intersubjektif) dalam konteks pembahasan tentang cara kerja sains kealaman dan humanities dikembangkan dengan menggunakan pendekatan fenomenologi agama. Intersubjektif adalah posisi mental keilmuan (scientific mentality) yang dapat mendialogkan dengan cerdas antara dunia objektif dan subjektif dalam diri seorang ilmuan dalam menghadapi kompleksitas kehidupan, baik dalam dunia sains, agama, maupun budaya. Intersubjektif tidak hanya dalam wilayah agama, tetapi juga pada dunia keilmuan pada umumnya. (Abdullah, 2013:13-14)

Sementara itu mengenai creative imagination (imaginasi kreatif), meskipun logika berpikir induktif dan deduktif telah dapat menggambarkan secara tepat bagian tertentu dari cara kerja ilmu pengetahuan, namun sayang dalam uraian tersebut umumnya meninggalkan peran imajinasi kreatif dari ilmuan itu sendiri dalam kerja ilmu pengetahuan. Memang ada logika untuk menguji teori tetapi tidak ada logika untuk menciptakan teori. Tidak ada resep yang jitu untuk membuat temuan-temuan yang orisinal. (Abdullah, 2013:18)

Urgensi Integratif Interkonektif Keilmuan Saat Ini
Pandangan Amin Abdullah di atas dalam mempertautkan ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu sesuai dengan perkembangan kebutuhan saat ini. Ilmu-ilmu keagamaan Islam era sekarang, seperti fikih, ibadah, kalam/aqidah/tauhid, tafsir, hadis, tarikh, akhlak, tidak boleh lagi steril dari perjumpaan, persinggungan dan pergumulannya dengan disiplin keilmuan lain di luar dirinya. Pendidikan keagamaan secara umum dan keislaman secara khusus tidak dapat lagi disampaikan kepada peserta didik dalam keterisolasiannya dan ketertutupannya dari masukan dari disiplin ilmu-ilmu lain dan begitu juga sebaliknya. 

Berikutnya bagi pendidik, baik guru maupun dosen perlu berpikir kreatif dan memiliki imajinasi kreatif, berani mengkaitkan, mendialogkan uraian dalam satu bidang ilmu agama dalam kaitan, diskusi dan perjumpaannya dengan disiplin keilmuan lain. Apabila langkah ini tidak dilakukan, maka pelajaran agama di sekolah, apalagi perkuliahan di perguruan tinggi, lambat laun akan terancam kehilangan relevansi dengan permasalahan kehidupan sekitar yang sudah barang tentu semakin hari semakin kompleks.

Sumber Pustaka
Al Jabiri, Muhammad Abed. Post Tradisionalisme Islam. Terj. Ahmad Baso. Yogyakarta: LKiS, 2000.
Abdullah, M. Amin. Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Mulai Dari Pendekatan Dikotomis Atomisik Sampai Kepada Integratif-Interkonektif. Editor: Adib Abdusshomad. Yogyakarta: Pustaka Setia, 2006).
Abdullah, M. Amin. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Abdullah, M. Amin. Agama, Ilmu, Dan Budaya: Paradigma Integrasi-Interkoneksi Keilmuan. Yogyakarta: Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2013.

0 komentar

Advertisement